Oct 27, 2011
Oct 19, 2011
2020, 15:32 WIB
menyerahkan tubuh ke badai
panas adalah namanya
kau diam atau turut serta
tegak tanpa langkah
menjadi mati
gerak terhisap pasir
lebih berarti
aku datang bersama pasukan timur
membawa panji-panji hitam
memberikan sapuan duri
pada pion-pion bermata satu
jelas
maut mengintip bahagia
daun jatuh di musim semi, kita bahagia
daging membusuk, mereka takut
kalian tinggalkan aku
sendiri di tiang-tiang malam
menunggu cahaya itu datang
berdiri di samping pedang yang berayun geram
simpul senyum ku raih
sampai gersang menjadi hijau zamrud membentang
Oct 13, 2011
Jhttp://nasional.kompas.com/read/2011/10/13/06183141/Indonesia.Terus.Kehilangan.Wilayah.TeritiorialAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah diminta bekerja lebih baik lagi mempertahankan setiap jengkal tanah negeri ini di daerah perbatasan ketimbang reaktif terhadap temuan Dewan Perwakilan Rakyat tentang pencaplokan wilayah Indonesia oleh Malaysia.
Pemerintah bisa memulainya dengan meningkatkan kesejahteraan warga Indonesia yang tinggal di perbatasan. Kondisi warga Indonesia di perbatasan dinilai memprihatinkan dibandingkan dengan warga Malaysia yang juga tinggal di perbatasan.
”Ini, kan, kasus kesekian kalinya. Pemerintah seharusnya bisa bekerja lebih lagi untuk mempertahankan setiap jengkal tanah kita di perbatasan. Sebagai pimpinan DPR, saya menyetujui dan mendorong penuh temuan-temuan dari Komisi I. Saya juga sudah meneken persetujuan, Komisi II ingin melakukan kunjungan ke lapangan untuk menelisik semua itu, termasuk di Kalimantan Barat dan daerah perbatasan lain,” kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso di Jakarta, Rabu (12/10/2011).
Menanggapi kritik mantan Presiden Megawati Soekarnoputri yang menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak berani meminta penjelasan kepada Malaysia soal pencaplokan wilayah Indonesia di Tanjung Datu, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Priyo mengatakan, pemerintah seharusnya jangan reaktif.
”Apa yang disampaikan Ibu Megawati mengonfirmasi ulang kerisauan kita mengenai daerah perbatasan. Pemerintah tidak perlu reaktif, tetapi harus lebih proaktif melakukan langkah-langkah sehingga temuan DPR menjadi alat pelecut bagi pemerintah melakukan langkah luar biasa dalam mempertahankan setiap jengkal tanah di daerah perbatasan,” katanya.
Menurut Priyo, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi selaku Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan harus segera melakukan langkah konkret dengan menteri terkait dan melaporkannya langsung kepada Presiden. Priyo mengatakan, langkah konkret itu bisa dimulai dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan.
”Kalau perlu, buat anggaran khusus untuk meningkatkan harkat martabat dari lingkungan masyarakat kita yang ada di perbatasan. Itu karena yang saya temukan ketika berkesempatan melakukan kunjungan ke daerah adalah Malaysia itu penduduknya berpendar cahaya, sementara kita gelap gulita. Kan, jadi pilu juga. Padahal, itu halaman depan kita punya negeri dan republik,” tutur Priyo.
Ia menilai pemerintah masih sangat konservatif dalam menangani masalah perbatasan. Jawaban pemerintah ketika DPR menemukan ada pencaplokan wilayah Indonesia oleh Malaysia melalui pergeseran patok di daerah perbatasan terkesan memang pemerintah tak berani menggugat Malaysia.
”Yang kemarin saya baca seolah-olah ini masih pembicaraan dengan Malaysia. Ini jawaban yang konservatif. Semua orang juga tahu kalau sudah bicara dengan Malaysia. Tetapi, dapat data sekian ribu kilometer persegi yang kemudian diubah patoknya itu perlu dikonfirmasi ulang ke Malaysia. Jadikan peluru untuk bicara dengan Malaysia,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Tb Hasanuddin (Fraksi PDI-P) menjelaskan, tak ada persoalan perbatasan apabila mengacu pada garis batas Peta Belanda Van Doorn tahun 1906, peta Sambas Borneo (N 120 E 10908/40 Greenwind), dan peta kolonial Inggris Federated Malay States Survey tahun 1935.
”Akan tetapi, kemudian dalam MOU (nota kesepahaman) antara tim Border Committee Indonesia dan pihak Malaysia, garis batas itu diubah dengan menempatkan patok-patok baru yang tak sesuai peta tua tersebut. Akibat kelalaian tim ini, Indonesia akan kehilangan 1.490 hektar di wilayah Camar Bulan dan 800 meter garis pantai di Tanjung Datu,” kata Hasanuddin.
Dengan hilangnya garis pantai tersebut, Indonesia kehilangan wilayah teritorial laut yang diprediksi memiliki kandungan timah, minyak, dan gas. Ia menegaskan, MOU itu belum diratifikasi sehingga Pemerintah RI perlu membatalkannya dan melakukan perundingan ulang.
Mantan sekretaris militer itu menambahkan, walau belum diratifikasi, ternyata Pemerintah Malaysia telah membuat tempat wisata konservasi di Tanjung Datu berupa Taman Negara Tanjung Datu dan proyek penangkaran penyu.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin, Aminuddin Ilmar, di Makassar, Sulawesi Selatan, kemarin, mengatakan, sengketa perbatasan negara yang kembali terjadi antara Indonesia dan Malaysia menunjukkan lemahnya kedaulatan negara. Pemerintah dan DPR hendaknya segera menyusun undang-undang tentang tapal batas negara.
”Sudah saatnya Indonesia memiliki regulasi yang menunjukkan batas-batas konkret dengan negara lain,” ungkapnya. (ONG/RIZ/BIL)
Pemerintah bisa memulainya dengan meningkatkan kesejahteraan warga Indonesia yang tinggal di perbatasan. Kondisi warga Indonesia di perbatasan dinilai memprihatinkan dibandingkan dengan warga Malaysia yang juga tinggal di perbatasan.
”Ini, kan, kasus kesekian kalinya. Pemerintah seharusnya bisa bekerja lebih lagi untuk mempertahankan setiap jengkal tanah kita di perbatasan. Sebagai pimpinan DPR, saya menyetujui dan mendorong penuh temuan-temuan dari Komisi I. Saya juga sudah meneken persetujuan, Komisi II ingin melakukan kunjungan ke lapangan untuk menelisik semua itu, termasuk di Kalimantan Barat dan daerah perbatasan lain,” kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso di Jakarta, Rabu (12/10/2011).
Menanggapi kritik mantan Presiden Megawati Soekarnoputri yang menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak berani meminta penjelasan kepada Malaysia soal pencaplokan wilayah Indonesia di Tanjung Datu, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Priyo mengatakan, pemerintah seharusnya jangan reaktif.
”Apa yang disampaikan Ibu Megawati mengonfirmasi ulang kerisauan kita mengenai daerah perbatasan. Pemerintah tidak perlu reaktif, tetapi harus lebih proaktif melakukan langkah-langkah sehingga temuan DPR menjadi alat pelecut bagi pemerintah melakukan langkah luar biasa dalam mempertahankan setiap jengkal tanah di daerah perbatasan,” katanya.
Menurut Priyo, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi selaku Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan harus segera melakukan langkah konkret dengan menteri terkait dan melaporkannya langsung kepada Presiden. Priyo mengatakan, langkah konkret itu bisa dimulai dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan.
”Kalau perlu, buat anggaran khusus untuk meningkatkan harkat martabat dari lingkungan masyarakat kita yang ada di perbatasan. Itu karena yang saya temukan ketika berkesempatan melakukan kunjungan ke daerah adalah Malaysia itu penduduknya berpendar cahaya, sementara kita gelap gulita. Kan, jadi pilu juga. Padahal, itu halaman depan kita punya negeri dan republik,” tutur Priyo.
Ia menilai pemerintah masih sangat konservatif dalam menangani masalah perbatasan. Jawaban pemerintah ketika DPR menemukan ada pencaplokan wilayah Indonesia oleh Malaysia melalui pergeseran patok di daerah perbatasan terkesan memang pemerintah tak berani menggugat Malaysia.
”Yang kemarin saya baca seolah-olah ini masih pembicaraan dengan Malaysia. Ini jawaban yang konservatif. Semua orang juga tahu kalau sudah bicara dengan Malaysia. Tetapi, dapat data sekian ribu kilometer persegi yang kemudian diubah patoknya itu perlu dikonfirmasi ulang ke Malaysia. Jadikan peluru untuk bicara dengan Malaysia,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Tb Hasanuddin (Fraksi PDI-P) menjelaskan, tak ada persoalan perbatasan apabila mengacu pada garis batas Peta Belanda Van Doorn tahun 1906, peta Sambas Borneo (N 120 E 10908/40 Greenwind), dan peta kolonial Inggris Federated Malay States Survey tahun 1935.
”Akan tetapi, kemudian dalam MOU (nota kesepahaman) antara tim Border Committee Indonesia dan pihak Malaysia, garis batas itu diubah dengan menempatkan patok-patok baru yang tak sesuai peta tua tersebut. Akibat kelalaian tim ini, Indonesia akan kehilangan 1.490 hektar di wilayah Camar Bulan dan 800 meter garis pantai di Tanjung Datu,” kata Hasanuddin.
Dengan hilangnya garis pantai tersebut, Indonesia kehilangan wilayah teritorial laut yang diprediksi memiliki kandungan timah, minyak, dan gas. Ia menegaskan, MOU itu belum diratifikasi sehingga Pemerintah RI perlu membatalkannya dan melakukan perundingan ulang.
Mantan sekretaris militer itu menambahkan, walau belum diratifikasi, ternyata Pemerintah Malaysia telah membuat tempat wisata konservasi di Tanjung Datu berupa Taman Negara Tanjung Datu dan proyek penangkaran penyu.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin, Aminuddin Ilmar, di Makassar, Sulawesi Selatan, kemarin, mengatakan, sengketa perbatasan negara yang kembali terjadi antara Indonesia dan Malaysia menunjukkan lemahnya kedaulatan negara. Pemerintah dan DPR hendaknya segera menyusun undang-undang tentang tapal batas negara.
”Sudah saatnya Indonesia memiliki regulasi yang menunjukkan batas-batas konkret dengan negara lain,” ungkapnya. (ONG/RIZ/BIL)
Berhentilah bilang kebohongan tentang aku, dan aku
akan berhenti bilang kebenaran tentang dirimu.(Gordon Gekko kepada Bretton James dalam film Wall Street:Money Never Sleep)
Kurang dari seminggu proses pra
diklat dilaksanakan hambatan tahun ajaran 2011-2012 sudah mulai terasa. Kali
ini dalam diri calon anggota baru yang menjadi incaran berbagai organisasi
ekstra kampus (OMEK). Kebijakan internal LPM SM memang melarang calon anggota
baru untuk ikut organisasi lain selain LPM SM, Intra maupun ekstra kampus.
Siapa yang ingin dimadu? Kami pun tak mau dan kami rasa organisasi lain pun tak
mau pula jika dimadu. Pada perkembangannya ada beberapa calon anggota baru yang
dibujuk salah seorang ketua HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) untuk bergabung
salah satu OMEK. Untuk menggoyahkan niatnya, sang ketua membuat pernyataan yang
intinya menyudutkan LPM SM. Selama ini banyak informasi yang kami terima entah
itu dukungan atau sebaliknya, menjelekkan. Telinga kami menjadi mulai terbiasa
dengan ungkapan “SM itu suka bikin ricuh”, “Tempatnya pemberontak”,
“Menjelek-jelekkan kampus”.
Kami tak ingin seperti Gordon Gekko
yang berhenti bohong jika Bretton James akan berhenti mengatakan kebenaran
tentang dirinya. Kami akan tetap mengatakan kebenaran, walaupun dalam penyampaiannya
kurang memuaskan dan sering dianggap kebohongan. Itu tidak lebih karena kami
juga terus belajar memperbaiki diri. Apabila tulisan-tulisan kami masuk
kategori sebagai menjelek-jelekkan kampus, disebabkan kami selalu memberitakan
kelemahan dari kampus. Kami tidak ingin bilang jika kampus ini dalam keadaan
baik-baik saja, tentunya dengan cara jurnalistik. Seperti kata Sudirman Tebba
bahwa wartawan ataupun media berfungsi menyebarkan informasi kepada khalayak. Memang
kami bukanlah humas yang selalu memberitakan hal-hal yang selalu baik. Meminjam
penjelasan Noam Chomsky dalam bukunya Politik
Kuasa Media yang mengkritisi industri humas di Amerika. Dari humas instansi
ataupun organisasi memanfaatkan media untuk kepentingan mereka. Kucuran dana
besar dikeluarkan untuk mendanai dan mendesain agar dapat mengontrol opini
publik.
Teringat cerita seorang teman yang
kuliah di Kedokteran UNS. Dia bercerita jika ada seorang pasien diberi tahu
memiliki potensi kanker payu dara, tetapi sang pasien tidak mengacuhkan kata
Dokter. Sang pasien selalu merasa baik-baik saja sampai akhirnya dia mengatahui
jika kanker payu dara yang menyerangnya telah stadium IIIC. Begitu juga dengan
kampus bila menolak kritik dan menutup-nutupi borok yang ada pada akhirnya bisa
saja mengalami penyakit akut.
Kami hanya bisa memberikan masukan calon anggota
tersebut untuk berpikir sendiri atau shalat istikharah apabila mentok. Kami
tidak ingin mencari anggota yang banyak untuk pilpres, tapi kami hanya ingin
anggota kami mau membaca dan menulis. Meneruskan dan membangun peradaban
melalui tulisan bukan iming-iming kekuasaan ataupun kekayaan.
Salam Redaksi, Buletin OPOSISI Edisi VIII 2011, LPM Spirit Mahasiswa
"Mana
yang lebih berbahaya, perokok aktif atau pasif?" tanyaku.
"Perokok
pasif!" teriak mereka serentak.
"Nah,
makanya jadilah perokok aktif" timpalku.
Aku
keluar dari ruangan dengan menyisakan gemuruh dan tanda tanya. Malamnya aku
temukan diriku yang lain duduk di depanku dengan raut wajah serius.
"Siang
tadi, apakah kau merasa menang?" tanyanya dengan senyum sinis.
"Sama
sekali tidak." jawabku.
"Kau
mengetahui merokok adalah kata kerja dan perokok adalah kata benda (dalam hal
ini proper noun). Kau sendiri yang mengumpamakan perokok aktif
adalah penguasa. Lantas, mengapa kau menyuruh mereka menjadi
penguasa?"
"Aku
hanya mengajak mereka berpikir."
Malam
itu diriku ngoceh padaku, tapi aku sudah tenggelam pada lautan rokok. Aku tak
menggubrisnya. Perokok dan merokok. Subjek dan predikat. Pada dasarnya mereka
membenci merokok bukan perokok. Perokok aktif lah yang mereka benci karena
dialah yang mengisap rokok secara aktif. Lain halnya dengan perokok pasif yang
hanya menerima asap rokoknya saja, namun dialah yang kena pengaruh buruk lebih
banyak. Bencilah mereka pada perokok aktif. Tanpa disadari sebenarnya perokok
aktif juga sekaligus perokok pasif. Perokok aktif selain mengisap rokok juga
mengisap asapnya. Perokok aktif pun tidak menyadarinya karena dia telah
terbiasa dengan bau asap rokok.
Kekuasaan
pun demikian. Menjadi candu bagi yang haus kekuasaan. Masyarakat sangat marah
pada penguasa, disebabkan tindakan yang dilakukan oleh penguasa menyebabkan
masyarakat menerima dampak negatifnya. Apabila masyarakat yang keblinger ingin menjadi perokok
aktif alias ingin menjadi penguasa, maka mereka pun tanpa sadar juga turut
masuk ke dalam lingkaran bahaya rokok. Pikiran sederhana mereka: kenapa mereka
tidak menjadi penguasa saja? Dampaknya lebih kecil daripada menjadi rakyat
biasa.
Penguasa
memiliki tanggung jawab besar: terhadap dirinya dan orang di sekitarnya.
Penguasa pula yang menyebabkan sebuah bangsa hancur atau sejahtera. Masyarakat
yang menjadi perokok pasif pun ikut terkena dampaknya. Pengangguran, pendidikan
tidak merata, perampokan, hutan gundul merupakan dampak tidak langsung dari
penguasa yang rakus. Mereka mengisap asap rokok dan perokok aktif tak mengisap
asap yang dikeluarkannya. Begitu juga bencana longsor, tanggul jebol, banjir,
tsunami dan faktor alam lainnya merupakan akibat penguasa. Bencana alam
tersebut digerakkan oleh sesuatu dari alam non materi.
"Bencana
itu berasal dari alam." kata penguasa. Hal ini persis yang dikatakan dalam
Surat Al-Jaatsiyah ayat 24, namun penguasa tidak sadar apabila Ada yang
menggerakan non materi yang kemudian menggerakan materi. Sekali lagi masyarakat
yang terkena dampaknya dan penguasa selamat. Walaupun penguasa selamat dari
bencana sesaat, namun penguasa akan mengalami penderitaan psikis yang
panjang. Jiwa dan hati para penguasa akan tersiksa dan tersayat dengan
perantara harta yang tidak halal, menyalahgunakan kekuasaan, ketakutan akan
digulingkan dari kekuasaan.
Fiksasi
dan Dalih
Freud
pernah mengatakan apabila orang merokok memiliki kecenderungan fase oralnya
terganggu, sehingga untuk memenuhi kepuasaan oral ketika dewasa menyalurkannya
dengan rokok. Kita juga sering melihat ambisi masyarakat yang ingin sekali
mengisi pos-pos penguasa atau paling tidak di bawahnya. Hal ini tidak terlepas
dari keinginan mereka yang tertindas dari penguasa yang kemudian muncul
keinginan menjadi penguasa berikutnya.
Orang
yang merokok pun punya dalih. Orang yang merokok memiliki ciri-ciri, yakni dia
itu sehat, memiliki uang, dan beriman. Apabila tidak sehat seorang perokok akan
dilarang merokok. Kemudian bila tidak memiliki uang janganlah jadi perokok. Dan
oleh sebab hidup matinya makhluk itu ditentukan Tuhan kenapa musti takut
merokok? Toh tidak merokok pun juga akan mati. Kesehatan terkadang dilupakan
atau tidak diacuhkan oleh kita. Seorang dokter bilang kita sakit, namun tetap
saja kita merokok. Tak selamanya orang yang merokok itu memiliki uang, bisa
saja dia meminta rokok pada orang yang sudah punya rokok. Memang benar hidup
mati seseorang yang menetukan Tuhan, di samping itu kita juga tidak bisa
melupakan bahwa kita harus menjaga apa yang Tuhan ciptakan termasuk tubuh kita.
Tuhan yang menciptakan, manusia yang menjaganya.
Penguasa
tidak jauh berbeda. Menjadi Penguasa juga harus memiliki kesehatan, uang, dan
iman. Kesehatan diperlukan untuk menjalankan kehidupan masyarakat. Kesehatan
fisik bisa dilihat, namun kesehatan rohani sulit diterima. Kita bisa lihat
penguasa yang arogan menggusur rumah-rumah atas nama kepentingan negara dengan
mengenyahkan keberadaan warga yang digusur sebagai unsur terbentuknya negara.
Melalui kekuasaannya membeli tanah dengan harga murah. Uang adalah modal
awal menjadi seorang penguasa. Tidak punya uang tinggal kongkalikong dengan
pemilik modal. Aku rasa hal tersebut sudah jamak kita ketahui. Terlebih proses
pemilihan seorang penguasa dalam demokrasi saat ini memerlukan banyak biaya.
Iman menjadi simbol-simbol mereka. Menjual ayat-ayat suci dalam kampanye mereka
denga harga murah.
"Bagaimana
jika industri rokok di tutup? Bukankah itu mengakibatkan pengangguran bagi
orang yang bekerja di sana? Makanya kita mau berkorban demi mereka" tanya
para perokok. Inilah tugas penguasa untuk memberikan industri alternatif untuk
buruh tembakau. Penguasa sering sibuk mengeruk untung dari industri rokok dan
enggan memberikan perhatian kepada penelitian alternatif agar tembakau memiliki
manfaat lain dari pada digunakan untuk rokok.
Aku
sendiri menulis ini dengan merokok, namun alam bawah sadarku terkadang
mengingatkan untuk berhenti. Aku seperti penguasa yang candu akan kekuasaan.
Penguasa menyediakan tempat khusus area perokok. Di sana kita menjadi perokok
sebenarnya: perokok aktif sekaligus perokok pasif. Nikmatnya merokok di alam
terbuka. Membebaskan asap-asap lari kemana mereka mau. Ke arah kita atau
filter-filter alam. Bahkan lebih nikmat tidak merokok.
Irfa R. Boyd Utama |
Malam menjadi gelap lebih awal. Bintang dan bulan
nampak lebih terang. Listrik menjadi padam di sekitar kampus dari sore sampai
kembali pagi. Penyebabnya sepele, layang-layang tersangkut penangkal petir pada
tiang listrik. Musim dan angin yang
mendukung menarik minat masyarakat bermain layang-layang. Semua menyalahkan
layang-layang dan orang yang bermain. “Jaman sekarang kok masih ada yang bermain layang-layang” celetuk orang dengan raut
kesal.
Benar bila layang-layang adalah usang. Ketika putus
tali, dia bergerak sesuai angin bertiup. Kita sendiri tahu bila angin selalu
berubah dan bergerak. Uni Soviet menjadi pelajaran bagaimana perubahan dan
gerak angin tidak dapat ditebak. Layang-layang berubah kehendak. Dulu diminati
dan sekarang dicaci. Layang-layang mempunyai sejarah yang panjang. Dia menjadi
alat petarungan udara di kala manusia bermimpi terbang. Kemeriahan mengejar
layang-layang yang putus memiliki keasyikan tersendiri. Tanpa takut nyangkut di
tiang listrik atau tertabrak kendaraan.
Sekarang, layang-layang seolah tak bersahabat dengan
modernitas atau justru modernitas yang tak bersahabat dengan layang-layang. Dia
memiliki kejayaan masa lampau yang coba dipertahankan dengan derasnya arus
modernitas. Apanya yang salah? Modern menjadi musuh dari arkais. Modernitas memang membawa perubahan terhadap
kehidupan, namun adakalanya modernitas menjadi alat bagi kapitalis yang rakus.
Mengeruk keuntungan tanpa memedulikan lingkungan dan budaya. Mereka
menumbangkan keindahan alami dan menciptakan keindahan buatan. Mereka mengisap
kekayaan alam dan memberikan kerusakan di atas permukaan tanah.
Di mana yang salah? Pendidikan kita. Pendidikan adalah
jantung bagi perubahan sosial. Pergeseran persepsi bahwa pendidikan hanya
dimaknai sebagai sekolah-sekolah yang telah kita tempuh. Bagaimana bisa sekolah
yang hanya dibatasi dinding tersebut bisa melakukan perubahan sosial? Bagaimana
bisa dari tempat itu mengajarkan kita cara mengubah realitas-realitas sosial?
Janganlah heran jika pendidikan kita berada dalam
situasi stagnan. Pendidikan kita masih menganut paradigma dogmatisme. Inilah
penyebab terhentinya proses berpikir dalam dunia pendidikan. Hal tersebut yang
dapat menghambat pemikiran agar tetap percaya pada realitas. Teori-teori hanya
sebatas fiksasi realitas dan bukan lagi sebuah perkembangan yang bisa berubah.
Penelitian-penelitian yang dihasilkan cenderung bersifat final. Dogmatisme
menyebabkan ketidak mampuan melihat struktur sosial, termasuk dirinya. Pendidik
meneruskan metode-metode baku yang kemudian makin diendapkan. Realitas
dipandang sebagai objek untuk dimanupulasi, dikuasai dan ditundukkan. Menurut
Jean-Francois Lyotard saat ini sedang memasuki fase di mana logika tunggal yang
diyakini kaum modernis telah digantikan dengan pluralitas logika. Bagi yang
tertutup matanya oleh paradigma mereka sendiri tidak menyadari akan hal ini.
Dampaknya adalah mereka membangun dunia hanya dalam satu dimensi, apa yang ada
dihadapannya hanyalah hitam dan putih. Maka matilah mereka!
Kita tidak akan menemukan kebebasan dalam menentukan
pilihan. Kita hanya akan mendapatkan para pendidik yang membentuk pola pikir
peserta didik sesuai dengan pola pikir mereka. Biarkan kita memilih, mengikuti
atau bahkan menciptakan mahzab sendiri. Biarkan kita menemukan sintesis apa
yang disampaikan pendidik tanpa memaksakan pola pikirnya.
Jikalau
lampu tidak padam gara-gara layang-layang, kita tidak bisa menikmati malam
dengan kelembutan angin, bintang dan bulan di alam terbuka. Mungkin kita akan
sibuk dengan televisi atau komputer di depan kita.