Pemain : Scarlet Johansson,
Morgan Freeman, Min-Sik Choi, Amr Waked
Sutradara :
Luc Besson
Naskah :
Luc Besson
Durasi : 89 Menit
We humans are more concerned with having than with being
Sinopsis sebuah film terkadang
melebih-lebihkan atau justru sebaliknya. Selain trailer dan poster, sinopsis
juga bagian penting dari marketing sebuah film. Untuk saya pribadi, ada kalanya
saya melihat sinopsis terlebih dahulu baru kemudian trailer dan pemainnya.
Namun, ada kalanya juga saya tak perlu membaca sinopsis dan melihat pemain yang
masuk dalam daftar saya nilai memiliki akting bagus. ScarJo dan Morgan Freeman
adalah pemain yang masuk dalam daftar saya dan inilah alasan saya menonton
LUCY. Semenjak menonton Lost In
Translation kemudian Match Point
saya mengikuti film-film ScarJo sampai HER
(meskipun cuma suara doang tapi asyik juga) dan Under The Skin. Shawsank
Redemption lah yang memperkenalkan saya dengan Morgan Freeman dan film-film
yang Ia bintangi memiliki kisah yang menarik serta memiliki twist ending. Selain Shawsank
Redemption, ada Se7en, Million Dollar Baby, Trilogi Batman karya Christoper
Nolan, Now You See Me, Wanted dll.
Saya tak akan menguraikan
sinopsisnya kembali karena itu membuang waktumu dan waktuku. Anda bisa
membacanya sendiri pada website dan situs yang anda percaya. Langsung saja, Ok!
Ide dasarnya adalah peningkatan kemampuan otak manusia melalui obat jenis baru.
Manusia digambarkan hanya mempergunakan 10% kemampuan otaknya, dan bisa
melakukan sesuatu yang spesial jika mempergunakan lebih dari itu. Tidak lebih
bagus dari film Limitless, tapi ini
lebih luas jangkauannya karena terdapat bumbu terkait kehidupan dan tujuan
manusia. Pada awal film cukup bagus dengan selingan-selingan deskripsi evolusi
dan adegan binatang yang cukup menggelikan. Karakter Lucy sendiri mengalami
perubahan yang dari awalnya seorang gadis yang polos dan suka berpesta menjadi
lebih tenang dan agresif (cenderung primitif/bar bar). ScarJo mampu membawakan
karakter Lucy dengan baik pada awal sampai peertengahan, sedangkan dari
pertengahan sampai akhir saya seperti melihat Black Widow. Morgan Freeman pun
tidak mendapatkan porsi yang banyak dan karakter yang dibawakannya memang tidak
berkembang. Min-Sik Choi dan Amr Waked lumayanlah
tapi tidak benar-benar membantu.
Sejak menit awal kita diberikan
ketegangan dan berbagai pertanyaan muncul dalam benak kita. Ketegangan sedikit
mengendor ketika fokus kita tidak lagi pada Lucy, melainkan lebih pada penjelasan
ilmiah. Menjelang ending cerita nampak kedodoran dan dipaksakan. Tidak ada yang
istimewa dari adegan ketika Lucy dapat mempergunakan kemampuan otaknya lebih
dari 10% karena kita dapat menemukannya pada film-film X-Men. Atau lebih
tepatnya jika Luc Besson tak jeli mengeksplorasi kemampuan Lucy dengan adegan yang
bisa dikenang pada penonton.
Saya menyukai humor yang disisipkan
Luc Besson, terutama Black Humor yang dapat ditemukan dari dialog antara Lucy
dengan Pierre Del Rio ketika Lucy menyetir mobil.
Pierre Del Rio: “I'd rather be late than dead.”
Lucy: “We Never Really Die”
Perhatikan saja
ekspresi Pierre ketika mendengar jawaban Lucy. Sepertinya sang sutradara memang
ingin sedikit mengurai ketegangan yang dibangunnya dengan menyelipkan beberapa
klip personifikasi yang sesuai dengan situasi yang terjadi, terutama pada awal
film dan bagian penjabaran immortality
and reproduction (nah, yang ini si Besson dapat video itu darimana coba? Hehehe)
Bagi mayoritas penonton pasti
berpikir bahwa ada kesan menyeret Lucy menjadi Tuhan, namun jika demikian akan
membuat lubang dalam cerita dan menarik pertanyaan yang mendasar “Apa yang
terjadi jika semua manusia mampu mengoptimalkan 100% otaknya? Mengapa manusia
harus memiliki hati? Lantas siapa yang menciptakan seluruh alam semesta dan
kemampuan manusia yang begitu luar biasa?” Tiada penjelasan dalam film dan
inilah yang menjadi salah satu ciri scifi. Lucy mengalami fase dimana kehilangan
rasa sakit, takut, dan hasratnya. “Everything
that makes us human, begins to escape. I feel less human.” Saya salut
terhadap keberanian Besson dalam memasuki wilayah absolut dengan menciptakan
karakter Lucy. Mustahil manusia memasuki wilayah absolut karena harus
menghilangkan kemanusiaannya dan memandang semua rasa adalah sama yang tiada
bedanya. Yang bisa dilakukan manusia adalah menyeimbangkan anugerah yang telah
diberikan baik hati, jiwa, rasio bahkan indra. Pada tataran absolut, semua
pertentangan/ironik/paradog harus dirasakan secara bersamaan dalam satu waktu
sehingga upaya apapun manusia mencapainya adalah mustahil. Inilah yang
membuatku menyukai genre scifi (truly scifi, bukan yang abal-abal) dibandingkan
genre lainnya.
Lucy: “Time is the reason for its own existence, the
ultimate measure. It attributes its existence to matter. Without time, it does
not exist.”
Berbicara tentang waktu teringat
surat al-Ashr yang berbunyi “Demi masa (1) Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian (2) kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (3)”. Jadi, jangan sia-siakan waktu. Saatnya kembali
fokus pada tesis. CU!!