Awalnya
tidak ada niatan untuk mengetik. Disebabkan rasa kantuk yang besar iseng-iseng
putar musik campur sari. Ternyata eh ternyata malah tidak bisa tidur. Lantunan
musik serta lirik yang melankolis dari Didi Kempot membuatku over dosis untuk
berimajinasi. Well, mataku melirik
tumpukan buku di sampingku. Begitu banyak buku yang aku baca, tapi dari sekian
itu apakah ada yang berkesan? Lantas coba ku buka gudang memoriku untuk
menemukan buku-buku yang berkesan bagiku (bukan bagimu). Nomer urut tidak
memengaruhi ya…
1. Edensor
(Andrea Hirata)
Buku ketiga dari Tetralogi Laskar Pelangi ini memiliki
banyak pengaruh, terutama pengaruh untuk mengikuti jejak Ikal dan Arai untuk
berkeliling Eropa. Tentunya pada saat itu bukan Eropa yang kukelilingi,
melainkan Jawa. Selain itu, jika Ikal dan Arai kegiatannya ketika liburan
kuliah, Saya keliling Jawa ketika menjelang kuliah berakhir dan mengakibatkan
harus cuti kuliah. Andrea membuat kisah dalam novel Edensor menarik tatkala
mozaik-mozaik dalam novel sebelumnya, Sang Pemimpi, dihadirkan di dalamnya.
Sebut saja kutukan Capo Lam Nyet Pho dan tentunya penantian enam belas tahun
pembalasan Tuhan terhadap lolongan serigala Arai di sebuah Masjid di Austria
(berkali-kali saya baca adegan ini, berkali-kali pula dibuatnya tertawa).
“Tuhan tahu tapi menunggu” kutip Andrea menirukan Leo Tolstoy untuk menjelaskan
peristiwa tersebut.
2. Cerita
Dari Blora (Pramoedya Ananta Toer)
Ini adalah buku kenang-kenangan yang diberikan oleh salah satu dosen.
Dipinjam oleh seorang teman kurang lebih selama satu setengah tahun dan segera
berupaya memintanya untuk dikembalikan setelah tahu jika harga buku ini di
pasar loak Rp. 250.000,- (meskipun di belakang buku tertera harga Rp.
15.000,-). Kisah bersetting pada masa revolusi tahun 1945-1949 yang menggambarkan
suasana mencekam tokoh-tokoh yang menderita karena konflik negara yang baru
lahir. Satu-satunya kumpulan cerpen yang paling menyanyat dan ciamik. Buku yang menginspirasi untuk
menulis cerpen.
3. Il Principle (Niccolo Machiavelli)

Ini dia buku pedoman para diktator mulai dari Stalin, Hitler,
Mussolini, Pol Pot, Pinochet,
Milosevic dan masih banyak lagi. Sebuah kado bagi
Lorenzo de Medici dari Machiavelli setelah melakukan pengamatan terhadap
karakter penguasa di Eropa. Ia gemas melihat Italia terjajah dan kalah terhadap
negara lain sehingga terpecah menjadi beberapa bagian. Keinginannya untuk
menyatukan Italia adalah dengan memperkuat Sang Penguasa yang dihormatinya.
Tetapi Sang Penguasa yang dihormatinya terlalu menjunjung moral sehingga mudah tergilas
kenaifan Penguasa-Penguasa lain. Kejujuran Machiavelli dalam mengungkapkan
tabir kekuasaan begitu gamblang. Contoh-contoh yang digambarkannya banyak
ditiru oleh para pemimpin dunia. Karena buku ini, dulu sempat juga berkhayal
menjadi seorang diktator sekaligus membuat daftar nama orang yang akan aku
binasakan. Hahahaha maklum darah masih mudah mendidih.
4. The
End of History and the Last Man (Francis Fukuyama)

Awal semester dua saya tidak sengaja menemukan buku
ini. Ketika membacanya tiada satu pun yang saya pahami. Lantas seorang dosen
berkomentar sambil ketawa, “Ya harus paham filsafat dulu untuk mengetahui buku
seperti itu.” Saya turuti sarannya untuk belajar filsafat secara otodidak.
Setelah mulai paham, saya buka kembali buku ini dan mengerti maksud dari
tulisan Fukuyama.
Tesis Fukuyama berakhir dengan pernyataan bahwa
Sejarah telah berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal yang
menjadi akhir dari peradaban. Tesis tersebut berangkat dari filsafat Hegel
mengenai sejarah. Hegel menekankan bahwa sejarah sebagai suatu proses
dialektika yang terus berputar, yang dimaknai Fukuyama bahwa sejarah as the dialectical processes and not the
occurrence of events. Akhir sejarah dalam pemahaman Fukuyama, tidak berarti
siklus alam seperti kelahiran dan kematian akan berakhir, atau bahwa
peristiwa-peristiwa penting tidak akan terjadi lagi.
Dalam sejarah peradaban manusia, kemunculan Komunisme melalui Karl
Marx yang kemudian melahirkan negara-negara komunis yang kuat seperti Uni
Soviet, China, dan Kuba menimbulkan perang dingin. Keruntuhan Uni Soviet di
tahun 1990an, yang dianggap sebagai pusat komunisme internasional pada saat
itu, dianggap menunjukkan akhir dari pergulatan dua filsafat besar, yaitu
kemenangan idealisme dan kekalahan materialisme.
Arogansi filsafat Hegel nampak jelas dalam tulisan
ini, pandangan Barat lebih superior daripada non-Barat dan Demokrasi liberal
akan menjadi kiblat. Paradigma tersebut sebenarnya membawa dikotomistik karena
berangkat dari dasar-dasar yang sudah usang dalam ilmu sosial. Misalnya, hukum Aufhebung Hegel sudah dibantah oleh
Foucault dengan diskontinuitas sejarahnya untuk memahami peradaban kontemporer.
Membaca buku ini setidaknya membuka cakrawala terhadap
perdebatan dunia yang tidak pernah habis. Perkembangan Islam yang pesat, luput
oleh perhatian Fukuyama.
5. The
Clash of Civilization and the Remaking of World Order (Samuel P. Huntington)
Buku yang sama dengan karya Fukuyama yang membahas permasalahan
global pasca perang dingin. Sebuah anti tesis dari Huntington terhadap Fukuyama
terkait pola-pola dunia dalam pergulatan dan permasalahannya tidak semata-mata
antara kapitalisme dan komunisme. Lebih jauh lagi, Huntington menggambarkan
adanya suatu benturan peradaban di dunia yang aka terus bertarung dan bergulat
karena di situlah letak konfliknya, Peradaban.
Melalui buku ini anda akan melihat banyak sekali
benturan peradaban yang dialami Indonesia. Mulai dari klaim Malaysia terhadap
kebudayaan Indonesia, ekspansi K-Pop di Indonesia ataupun fashion kawula muda
kita. Efek dari globalisasi yang tidak terhindarkan.
6.
The
World is Flat (Thomas L. Friedman)
Beberapa tahun terakhir globalisasi dianggap sebagai hantu oleh
negara-negara dunia ketiga. Dengung globalisasi membuka ranah baru dan suatu
gaya yang baru dalam dunia. Tetapi, globalisasi oleh Friedman telah berlangsung
cukup lama. Ia membagi tiga versi globalisasi. Pertama, globalisasi versi 1.0
yang diawali dengan penjelajahan Colombus tahun 1492 sampai tahun 1800 yang
sekaligus mengawali era globalisasi. Inilah era mengglobalnya negara yang
meruntuhkan tembok agama dan imperialisme. Kedua, globalisasi versi 2.0 dimulai
tahun 1800 sampai tahun 2000 yang menjadi era penyusutan dunia pada tataran
perusahaan multinasional. Melalui revolusi industri membuat perusahaan-perusahaan
multinasional memainkan peran penting pasar dunia dan tenaga kerja yang
kemudian diikuti depresi dari perang dunia serta diakhiri dengan jatuhnya biaya
telekomunikasi. Ketiga, globalisasi versi 3.0 dimulai tahun 2000 yang
menyusutkan dunia yang kecil makin kecil sehingga menjadi datar. Konvergensi
komputer atau telekomunikasi membuat Individu ataupun kelompok kecil mampu
menjadi global tanpa menghiraukan jarak pada tataran dunia datar (
flat world platform). Persaingan
individu menentukan era ini yang disokong dengan pesatnya perkembangan gadget.
Sesungguhnya dari Fukuyama, Huntington maupun Friedman
memandang pergerakan dunia dengan sudut pandang yang berbeda. Fukuyama dari
arah ideologi, Huntington dari unsur peradaban, dan Friedman dari teknologi dan
industri. Friedman memiliki persepsi yang berbeda terhadap globalisasi apabila
disandingkan pandangan globalisasi pada umumnya, dimana pada saat inilah era
globalisasi. Ia memandang persaingan global sudah terjadi sejak abad lima
belas, yang dimulai dengan persaingan antar negara yang kemudian kian menyusut
lebih kecil.
7. Teori
Keadilan (John Rawls)
Buku ini saya beli dua kali karena yang pertama hilang (penghalusan
dari kata dicuri). Disebabkan oleh saya adalah mahasiswa hukum tentunya
terdapat referensi hukum yang memiliki kesan dan salah satu buku tersebut
adalah karya John Rawls, Teori Keadilan. Ada suatu keinginan dari Rawls untuk
menemukan alternatif bagi dua teori besar, yakni utilitarianisme dan intuitif
deontologis. Ia ingin mengakomodasi individu tanpa mempertaruhkan kesejahteraan
atau haknya sendiri demi kebaikan orang lain. Selain itu Ia memberikan metode
yang konkret untuk membuat keputusan paling mendasar dari keadilan distributif
yang kemudian menghasilkan keadilan sebagai kesetaraan (
justice as fairness).
Meskipun terdapat keinginan untuk memberikan jalan
keluar dari kedua teori, tetapi Rawls terjebak dalam penguatan utilitarianisme.
Sebenarnya banyak kelemahan dari teori Rawls, namun buku ini memberikan banyak
gambaran mengenai proses keadilan yang rasional dan institusional yang lebih
condong ke normatifnya.
8. Teori
Umum Hukum dan Negara (Hans Kelsen)
Tidak ada mahasiswa hukum yang tidak kenal Hans Kelsen, baik dari
teori
stufentheory maupun
pure of law. Bisa dikatakan pemikiran
melalui buku inilah yang mendominasi struktur keilmuan hukum sampai saat ini,
meskipun pada era postmodern banyak yang menentangnya akan tetapi tidak
mengurangi pendukungnya. Hans Kelsen meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi
positivisme hukum, sehingga Meuwissen pun berpendapat bahwa ilmu hukum adalah
ilmu yang
sui generis.
Kelsen dalam buku ini ingin membuktikan hukum dan
negara bukanlah dua hal yang berbeda, melainkan saling keterkaitan. Secara
lengkap buku ini membahas banyak hal mulai dari konsep hukum sampai mengenai
negara sekaligus kritik terhadapnya. Keinginan-keinginan Kelsen untuk
menjauhkan hukum dari anasir-anasir non yuridis melupakan suatu hal yang
penting, yakni bahwa pembentuk undang-undang adalah lembaga politik yang
dipilih dari lapisan masyarakat. Sehingga, tentu saja sulit untuk memisahkannya
dengan anasir non yuridis, setidaknya politik. Hal ini tentunya memengaruhi
produk hukum yang berada di bawah undang-undang apabila mengacu sistem hierarki
peraturan perundang-undangan yang mengharuskan untuk sinkron.
9. Politik
Kuasa Media (Noam Chomsky)
Ini buku kecil nan tipis, namun membuka pemikiran kita terhadap
berita yang muncul di berbagai media. Setidaknya ini membantu mampu memilah
berita-berita yang muncul. Chomsky berpendapat bahwa fakta di media massa
hanyalah rekonstruksi dan olahan dari redaksi. Terkadang terdapat fakta yang
sengaja disembunyikan, penonjolan secara berlebihan suatu fakta-fakta tidak
penting. Secara garis besar buku ini membicarakan kebobrokan media di Amerika
Serikat yang terkadang melakukan perselingkuhan dengan pihak pemerintah ataupun
swasta untuk membentuk opini publik. Bagaimana humas bekerja dan media-media
memeroleh dana yang begitu besar oleh politik media dikeluarkan pemerintah
untuk menjaga kekuasaanya.
Sebagai pegiat pers, buku ini terlalu jujur dan berani
tetapi tidak ada yang salah karena saya sendiri mengetahui bagaimana kerja
media di lapangan sampai masuk dapur redaksi. Meskipun begitu, kondisi seperti
ini perlu ditelaah bagi pegiat media untuk melakukan segala aktivitas dengan
nurani.
10. Seri Sherlock Holmes (Sir Arthur Conan Doyle)
Aoyama Gosho dalam pembuatan komik Detektif Conan terinspirasi dari
penulis seri Sherlock Holmes. Bagi saya ini adalah buku yang mampu merangsang
rasa ingin tahu saya yang besar (jika anak muda sekarang dibilang “Kepo”). Cara
berpikir deduktif coba saya terapkan sejak masih sekolah dasar sampai kuliah
(akhir-akhir ini mulai mencoba berpikir induktif), walaupun tidak disertai
dengan ‘blusukan’ ala Holmes. Gaya penulisan yang seperti catatan perjalanan
dari Watson tidak mengurangi kekuatan karakter dari tokoh-tokohnya. Meskipun tokoh-tokoh
fiksi dalam serial detektif, mulai dari Hercule Poirot (Agatha Cristie),
Jacques Clouseau (Seri Pink Panther) sampai era Ace Ventura dan Sinichi Kudo,
Holmes selalu lebih menonjol karena dia adalah pembuka gerbang tokoh detektif.
11. Dragon Ball, especially vol 33-35 (Akira
Toriyama)
Hehehe ini adalah sebuah pengakuan karena buku inilah saya gemar
membaca buku, sehingga berapa pun umurku tidak bisa lepas dari sebuah komik
disebabkan oleh komik adalah buku favorit pertama saya. Komiknya sendiri sudah
tamat pada saat SD (hahaha maklum misi komersial televisi). Serial televisinya
baru berakhir ketika saya SMA kelas 2 padahal pertama kali muncul di televisi
Indonesia tahun 1995an (bayangkan sendiri berapa lama). Gaya pertarungan Super
Saiya 3 dalam komik ini memberikan dampak gaya bertarung ketika main
perang-perangan maupun pas Karate (kondisi ini berlaku sampai tamat SD, geli
rasanya jika mengingat hal tersebut).
Overall,
hanya menceritakan pukul-pukulan dan tidak ada pesan moralnya, namun tetap
berkesan (mungkin karena dulu suka pukul-pukulan). Hahahaha udah ah tidak mau
membahas terlalu lama. Ada ketakutan malah akan larut dalam nostalgia masa
kecil.
12. A Walk To Remember (Nicholas Sparks)
Semakin aku gali memori dan kenangan dalam gudang otak, ku temukan
buku yang bikin mewek dan termehek-mehek. Ialah novel ini. Cerita yang romantis
sampai menangis di akhir cerita. Istilah leukimia pada saat itu begitu asing,
sampai dosen yang begitu dekat denganku menderitanya juga. Sontak saya teringat
dengan novel ini.
Nicholas Sparks memang spesialis kisah
romantis-dramatis mulai dari Notebook sampai Dear John. Meskipun masih banyak
buku serupa karena novel ini dibaca tatkala hendak masuk masa puber (sekitar
umur 14 tahunan) ada sisi kenangan yang tidak bisa lepas dari keinginan
sederhana seorang gadis muda.
13. One Piece (Eichiro Oda)

Kisah Naruto, Bleach, Fairy Taile, sampai Beelzebub kalah telak
dengan One Piece yang menjadi manga terpanjang dalam sejarah Jepang.
Petualangan yang tidak mengenal ujung ini sangat amat panjang dan menarik dan
tidak dapat diprediksi endingnya (karena memang belum TAMAT). Komik yang penuh
gairah, semangat, dan pesan moral nan kocak. Semua komplit dan dalam porsi yang
tepat tanpa sesuatu yang berlebihan. Jika anda seorang skeptis dan pesimistis
perlu kiranya membaca komik ini untuk suplemen semangat dalam menghadapi dunia
yang kian nisbi.
14. Kata adalah Senjata (Subcomandante Marcos)
Keunikan EZLN
(Ejército Zapatista de
Liberación Nacional) dan Marcos sebagai pemimpin (jika bisa dibilang begitu) adalah gerakan yang
lain dari suatu pemberontak. Pemberontakan yang tidak bertujuan untuk
menggulingkan pemerintahan, tetapi mengadakan sebuah pemilu yang bersih dan
demokratis meskipun hasilnya adalah sama. Sehingga di sebuah bukit, Ia tidak
mengajarkan cara menggunakan senjata untuk para militan melainkan mengajarkan
sastra dan filsafat. Setelah pemberontakan yang gagal karena cara berpikir
masyarakatlah yang mesti diubah, Ia mewajibkan pembacaan terhadap karya sastra.
Gerakan senjata militer adalah kegagalan dan kata merupakan senjata baru yang
tak terkalahkan. Melalui esai-esai yang cerdas, Marcos membangkitkan gejolak
muda saya untuk terus berpikir, belajar sastra, dan menulis. Walaupun hanya
gerakan kultural, namun efek yang diberikan pada seluruh dunia terasa. Bahkan
Gabriel Garcia-Marquez mengapresiasi sastra Marcos. Rentetan kata-katanya mampu
menembus hati yang angkuh dan memaksa untuk mengerahkan segala indera terhadap
hegemoni dunia.
15. The Alchemist (Paulo Coelho)
Begitu banyak buku yang harus kubeli dua kali karena dipinjam yang
berujung tidak dikembalikan, sehingga aku lupa siapa yang meminjam. Pertama
kali membaca ketika SMA pada waktu yang tepat, -patah hati. Masih ingat di
benakku kalimat pelipur lara itu,
“jika emas yang
kau temukan itu terbuat dari unsur murni, maka ia tidak akan rusak. Dan kau
bisa selalu bisa kembali. Tetapi jika emas yang kau temukan itu hanya sepuhan
belaka, seperti kilasan bintang jatuh, kau tidak akan menemukan apapun tatkala
pulang nanti.”
Tahun 2011-2012, saya rekomendasikan seorang teman
untuk membelinya dengan niatan membacanya ulang (Hehehe maaf ya, Ardi). Ketika
membaca untuk kedua kalinya ada perbedaan nuansa, kali ini yang muncul adalah
kemesraan dan kerinduan pada seseorang wanita di Semarang, seperti halnya
kerinduan Santiago terhadap Fatima. Pada tanggal 26 November 2013 kuputuskan
untuk memberikan kado ulang tahun pada wanita tersebut buku ini. Yang semoga
saja merepresentasikan isi hatiku padanya.
No comments:
Post a Comment