Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Dec 30, 2013

SANG PETAPA



I am
A little bit of loneliness
A little bit of disregard
A handful of complaints
But I can't help the fact
That everyone can see these scars
(Faint – Linkin Park)

         
         
           Sebelum anda melanjutkan membaca artikel ini, hendaknya anda memutar lagu Faint dari Linkin Park (jikalau belum memilikinya sebaiknya anda mengunduhnya). Memang tidak ada kaitannya antara Linkin Park dengan petapa. Setidaknya itu dapat mengurangi kejenuhan atas pemberitaan yang membentuk energi negatif.
            Dulu. Dulu sekali saya (yang lain) pernah menjadi seorang masokis, bukan masokis yang merupakan bentuk parafilia, tetapi lebih pada penyimpangan psikologi untuk ingin dipenjara. Berawal dari konklusi bahwa engkau tidak akan berpikir jernih untuk menulis suatu karya jika tidak di dalam penjara. Ketika para koruptor ketakutan akan penjara dan kriminal lain lari dari jeratan hukum, saya malah ingin merasakannya. Liberte!!! Suatu teriakan dari gema revolusi Perancis yang bertahan sampai saat ini, dan kini terdiam di Amerika Serikat menjadi sebuah patung. Dan kini terekam dalam buku dan hati para manusia dengan baik. Penjara merupakan kekuatan tersendiri untuk membangunkan tingkat imajinasi dan keluasan mata dalam memandang. Dari dalam jeruji besi semua nampak lebih jujur, meskipun nampak kotor. Namun, itu lebih baik dibandingkan kemunafikan yang telah memoles rupanya dengan keramahan dan keteraturan yang dipaksakan. Di sana saya bisa menjadi petapa yang menyepi, diam, dan tidak terlihat. Mataku bisa berubah menjadi mata elang yang luas memandang. Kemudian menjadi cacing yang berpandangan sempit yang melihat segala sesuatu menjadi serba besar. Kesakitan membuatku semakin bergairah. Itu tidak lazim memang, tetapi seperti kata Foucault bahwa setiap zaman memiliki definisi kegilaannya sendiri. Definisi kegilaan yang berubah sebagai indikator terjadinya perubahan paradigma, dimana Capra menyebutnya sebagai bagian dari titik balik peradaban.
            “Dari penjara itu engkau akan membuat berbagai karya yang menggemparkan,” ujarku (yang lain) pada saat itu.
            “Tetralogi Pulau Buru (Pramoedya Ananta Toer), Catatan-Catatan dari Penjara (Gramsci), Dari Penjara ke Penjara (Tan Malaka), Don Quixote (Miguel de Cervantes), Fi-Zhilalil Qur’an (Sayyid Qutb), Pledoi Indonesia Menggugat (Soekarno). Masih belum puas aku memberikan contoh karya dari penjara? Hitler pun dengan Mein Kampf dan Abu Bakar Ba’asyir tidak ketinggalan.”
            Aku terus mengoceh dengan mengutip dari Ibnu Taimiyah, “Dan dipenjara yang sebenarnya ialah yang dipenjarakan hawa nafsunya. Bila orang-orang yang memenjarakan saya ini tahu bahawa saya dalam penjara ini merasa bahagia dan merasa merdeka, maka merekapun akan dengki atas kemerdekaan saya ini, dan akhirnya mereka tentulah mengeluarkan saya dari penjara ini.”
            Lantas diriku yang lain mengambil alih dengan keinginan menyendiri di gunung untuk menghindari kegilaan duniawi. Penjara terlalu berisik dengan kenaifan pula. Kota terlalu cepat, penuh polusi serta kemacetan. Di sana masing-masing memiliki Gatoloco yang berbeda topeng berevolusi dengan halus: kalimat-kalimat bijak nan halus untuk pemerkosaan, kondisi-kondisi pemaaf yang kompromis. Obsesi Nietzsche terhadap Zarathustra menjadi Gatoloco bagi kaum ‘kiri’ yang membuat lebih skeptis dan apatis terhadap realitas. Dunia menghasilkan ‘Si Gila’ Nietzche, ‘Sang pemberontak’ Camus, Hitler yang paranoia, dan narcissus baru di media sosial.
            Secara duniawi tidak ada yang bergaransi, semua membutuhkan resiko. Begitu juga Resi Bisma ketika meninggalkan pertapaannya untuk turun gunung menjadi guru Pandawa dan Kurawa. Ia tidak menyangka bila pesona kekayaan menjeratnya, itu pun diakuinya. Lantas, apakah saya? Pertanyaan tersebut terus terjadi sampai para Gatoloco kelelahan yang kemudian berlanjut dengan berkomplotnya iblis dan dajjal. Mereka muncul dengan kebaikan, lalu coba menjerumuskan.
            Banyak orang yang saya kenal dan temui mengatakan sanggup menghadapi berbagai godaan. Pada mulanya saya memercayai ucapannya karena intelektualitas mereka. Pemikiran bukanlah berjenjang seperti dibilang Comte, melainkan utuh. Dari berpikir metafisik, logis, dan afeksi. Memang terkadang pemikiran menghasilkan tindakan, namun tidak selalu tindakan berasal dari pemikiran. Terdapat faktor-faktor yang memengaruhi, seperti perasaan, situasi, spontanitas, afeksi, dan kemampuan.
            Engkau perlu membangunnya. Tetapi, perlu pemikiran jernih yang memandang segala sesuatu secara meluas dan hati yang tenang, bukan melalui kegundahan dan pesimistis. Seperti banyak dialami manusia masa kini. Diskotik yang selalu sesak; ekstasi yang penuh fantasi; keriuhan sentuhan perkelaminan. Dunia beserta teorinya dibangun dengan keputus-asaan. Pesimistis yang menghasilkan nihilisme. Tak akan engkau temukan solusinya karena yang tersisa adalah pembenaran-pembenaran. Pemuka agama sudah nyenyak. Semua tampak gonyah walaupun kelihatan kokoh. Tidak kah kau dapat melihatnya?
            Mereka akan terus lari. Mencari ketenangan di pinggir laut dan di atas gunung. Mereka tidak akan menemukan apapun. Sang Petapa sudah banyak yang turun gunung dan merapat pada keramaian kota. Seperti halnya Musashi, Petapa perlu menghindar menyimpang di kesunyian dan lalu bergerak maju untuk membunuh kegelisahan serta kelinglungan bagi mereka yang mencarinya.
            Banyak cara menjadi petapa. Paling efektif adalah dengan menghindar menyimpang. Meskipun tidak ada jaminan untuk menghilangkan permasalahan hidup, dan permasalahan itu adalah solusi bagi manusia-manusia yang mencarinya. Hingga telinga sang petapa penuh kotoran karena cerita-cerita.
            Dan entah sejak kapan saya tidak menyukai ‘kiri’ yang dulunya kupuja. Mungkin dogma akan dunia diciptakan dengan struktur keseimbangan membuat kiri bergeser menjadi topangan rasio dalam membangunkan hatiku. Kapan itu? Saya sendiri lupa.
            Musik telah berganti dengan lagu Breaking the Habit karena lupa melakukan repeat otomatis. Sampai pada lirik, I don't want to be the one, the battles always choose.

Semarang, 30 Desember 2013


2 comments:

  1. jossssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssss
    liburan semester ng ndi?

    ReplyDelete