Membaca Novel Pertama
Murakami
Judul : Dengarlah Nyanyian Angin (Kaze No Uta O Kike)
Penulis : Haruki Murakami
Tebal : iv+119 hlm. 13,5 cm x 20 cm.
Cetakan :
Kedua, Mei 2013
Penerbit :
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
“Kamu
sedang apa sekarang?”
“Aku
sedang membaca buku.”
“Ck,ck,ck.
Nggak baik tuh. Kamu harus mendengarkan radio. Kamu justru akan semakin
terasing kalau membaca buku.”
Pertama kali
mendengar (lebih tepatnya membaca) nama Haruki Murakami dari sebuah pengantar
novel “Di Bawah Bendera Merah” karya Mo Yan. Murakami dan Mo Yan menjadi dua
nama sastrawan Asia (Jika Pramoedya masih hidup mungkin namanya akan ikut
serta) dengan urutan teratas masuk nominasi peraih Nobel Sastra 2012. Selepas membaca
“Di Bawah Bendera Merah” segera kucari novel Murakami dan suatu kebetulan yang
teramat bahwa buku Murakami tinggal satu dan itu adalah novel pertamanya.
Paragraf pertama
yang pendek sebagai pembuka sekaligus permintaan maaf karena itulah novel
pertamanya, berbunyi “Tidak ada kalimat yang sempurna. Sama seperti tidak ada
keputusasaan yang sempurna.” Novel tipis ini berlatar belakang tahun 1960an
yang bercerita si Aku, mahasiswa Biologi yang sedang libur di tempat tinggalnya
yang kecil. Kehidupan remaja yang kompleks, tidak jelas, penuh rokok dan
alkohol menjadi ciri yang menonjol dari novel ini. Kalimat-kalimat yang mudah
dipahami namun menusuk dan dalam seolah melupakan bahwa alur dari kisah pada
novel ini melompat serta tidak beraturan.
Tipis tetapi
memberikan kesan mendalam melalui dialog-dialog dan deskripsi yang menggelitik.
Misalnya,
Selagi aku
membersihkan debu di kaca depan dengan tisu, dia berjalan perlahan mengelilingi
mobil dengan penuh rasa curiga. Setelah berkeliling satu kali, sejenak dia
menatap lekat-lekat gambar muka sapi berukuran besar yang dilukis dengan cat
putih di atas kap mobil. Sapi itu mengenakan anting hidung, sementara di
mulutnya terselip setangkai bunga mawar putih. Sapi itu tertawa. Tawa yang
sangat mesum.
“Kamu yang menggambarnya?”
“Bukan. Pemilik sebelumnya.”
“Kenapa harus gambar sapi sih?”
“Entahlah.” Kataku.
Karakter si Aku
juga memiliki keanehan yang condong pada sedikit gila. Masa kecilnya yang
begitu pendiam membuat orang tuanya membawa ke psikiater, dan memperoleh cerita
tentang kambing gunung, kelinci, gajah. Umur empat belas tahun pada musim semi
selama tiga bulan mengoceh tanpa henti dan seketika berhenti karena demam
tinggi, setelah itu menjadi pria yang biasa (secara fisik iya, secara otak
tidak beres). Lebih suka membaca buku karya orang yang sudah mati karena akan
lebih mudah memaafkan. Terobsesi pada penulis Amerika yang tidak terkenal yang
mati bunuh diri. Menyukai binatang karena mereka tidak bisa tertawa. Ada lagi, tokoh
Nezumi seorang anak kaya yang tidak suka dengan kekayaannya. Tidak suka
membaca, namun menulis novel. Novel yang tiap tahun dikirim sebagai hadiah ulang
tahun si Aku. Karakteristik novelnya yang tidak ada adegan seks dan tiada tokoh
yang mati.
Overall, novel ini benar-benar membuat
dirimu wajib membacanya. Cukup luangkan waktu 1 jam, setelah itu perenungan
bisa sampai 2 hari. Saat tulisan ini di upload pun, saya masih tertawa sendiri
memikirkan kisah dalam novel yang penuh humor dan ajakan berpikir. Suatu gerbang
yang membuka untuk terus membaca karya Murakami selanjutnya.
Irfa Ronaboyd
No comments:
Post a Comment