Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Nov 23, 2013

Haruki Murakami - Dengarlah Nyanyian Angin


Membaca Novel Pertama Murakami

Judul              : Dengarlah Nyanyian Angin (Kaze No Uta O Kike)
Penulis            : Haruki Murakami
Tebal              : iv+119 hlm. 13,5 cm x 20 cm.
Cetakan          : Kedua, Mei 2013
Penerbit          : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)


“Kamu sedang apa sekarang?”
“Aku sedang membaca buku.”
“Ck,ck,ck. Nggak baik tuh. Kamu harus mendengarkan radio. Kamu justru akan semakin terasing kalau membaca buku.”

            Pertama kali mendengar (lebih tepatnya membaca) nama Haruki Murakami dari sebuah pengantar novel “Di Bawah Bendera Merah” karya Mo Yan. Murakami dan Mo Yan menjadi dua nama sastrawan Asia (Jika Pramoedya masih hidup mungkin namanya akan ikut serta) dengan urutan teratas masuk nominasi peraih Nobel Sastra 2012. Selepas membaca “Di Bawah Bendera Merah” segera kucari novel Murakami dan suatu kebetulan yang teramat bahwa buku Murakami tinggal satu dan itu adalah novel pertamanya.
            Paragraf pertama yang pendek sebagai pembuka sekaligus permintaan maaf karena itulah novel pertamanya, berbunyi “Tidak ada kalimat yang sempurna. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna.” Novel tipis ini berlatar belakang tahun 1960an yang bercerita si Aku, mahasiswa Biologi yang sedang libur di tempat tinggalnya yang kecil. Kehidupan remaja yang kompleks, tidak jelas, penuh rokok dan alkohol menjadi ciri yang menonjol dari novel ini. Kalimat-kalimat yang mudah dipahami namun menusuk dan dalam seolah melupakan bahwa alur dari kisah pada novel ini melompat serta tidak beraturan.
            Tipis tetapi memberikan kesan mendalam melalui dialog-dialog dan deskripsi yang menggelitik. Misalnya,
            Selagi aku membersihkan debu di kaca depan dengan tisu, dia berjalan perlahan mengelilingi mobil dengan penuh rasa curiga. Setelah berkeliling satu kali, sejenak dia menatap lekat-lekat gambar muka sapi berukuran besar yang dilukis dengan cat putih di atas kap mobil. Sapi itu mengenakan anting hidung, sementara di mulutnya terselip setangkai bunga mawar putih. Sapi itu tertawa. Tawa yang sangat mesum.
“Kamu yang menggambarnya?”
“Bukan. Pemilik sebelumnya.”
“Kenapa harus gambar sapi sih?”
“Entahlah.” Kataku.

            Karakter si Aku juga memiliki keanehan yang condong pada sedikit gila. Masa kecilnya yang begitu pendiam membuat orang tuanya membawa ke psikiater, dan memperoleh cerita tentang kambing gunung, kelinci, gajah. Umur empat belas tahun pada musim semi selama tiga bulan mengoceh tanpa henti dan seketika berhenti karena demam tinggi, setelah itu menjadi pria yang biasa (secara fisik iya, secara otak tidak beres). Lebih suka membaca buku karya orang yang sudah mati karena akan lebih mudah memaafkan. Terobsesi pada penulis Amerika yang tidak terkenal yang mati bunuh diri. Menyukai binatang karena mereka tidak bisa tertawa. Ada lagi, tokoh Nezumi seorang anak kaya yang tidak suka dengan kekayaannya. Tidak suka membaca, namun menulis novel. Novel yang tiap tahun dikirim sebagai hadiah ulang tahun si Aku. Karakteristik novelnya yang tidak ada adegan seks dan tiada tokoh yang mati.
            Overall, novel ini benar-benar membuat dirimu wajib membacanya. Cukup luangkan waktu 1 jam, setelah itu perenungan bisa sampai 2 hari. Saat tulisan ini di upload pun, saya masih tertawa sendiri memikirkan kisah dalam novel yang penuh humor dan ajakan berpikir. Suatu gerbang yang membuka untuk terus membaca karya Murakami selanjutnya. 

Irfa Ronaboyd

No comments:

Post a Comment