Obrolan
ringan dengan mas Noe atau sekarang lebih dikenal nama Sabrang tak mampu
menghindarkan diriku untuk membayangkan sedang rebahan. Ingin rasanya
memejamkan mata barang sepuluh menit saja.
Setiba
di kamar setelah berbagai aktivitas, kurebahkan diri dengan mengambil sembarang
buku. Novela James Joyce terpilih dari sistem acak tersebut. Untungnya, Ulysses
tidak termasuk buku yang kubawa ke Surabaya untuk dibaca ulang.
Aku
kaget. Hantaman sebuah benda tumpul di perut membangunkanku. Seseorang yang
lama tak kujumpa tersenyum.
“Lihatlah,”
katanya ringan. Kesadaranku belum pulih. Aku tidak segera melihat apa yang
menghantamku. Buku Joyce di samping tubuhku tertutup dan tertekuk. Jarang
sekali aku tertidur saat membaca.
Benda
tumpul yang menghantam perutku adalah sebuah bola kristal. Kupandangi dengan
malas sambil mendengar perbincangan orang-orang di dalam bola itu. Kulempar
kembali bola kristal itu pada si empunya.
“Kau
tidak ingin menjawab berbagai praduga itu?”
“Tidak.
Untuk apa?” jawabku sambil berdiri menghidupkan kompor dan mulai memasak air.
“Bodoh,
untuk menjelaskan!” Ia berdiri membuka pintu agar udara segar masuk. “Semisal anggapan
tak profesional karena mencampuradukkan sesuatu lantas menghukum semuanya.”
“Aku
sudah menjelaskan semuanya. Dan kurasa selama ini telah fair sebagai manusia
yang mencoba menuntun dari luar lingkaran. Mereka bukan orang-orang bodoh yang
perlu dijelaskan berkali-kali, kecuali emosi menutupinya. Aku tidak suka
pemilihan diksi ‘menghukum’ karena pada dasarnya tidak ada yang dihukum dan
tidak ada yang merasa dihukum.”
Aku
biarkan dia mengoceh sesuka hatinya. Diriku lebih terfokus pada kopi yang hanya
cukup untuk segelas saja. “Jadi, kau mampir hanya untuk melempar bola kristal
itu?”
“Bukan.
Lama aku tidak berkunjung. Ingin kali tahu responmu saja.”
Jam
di ponsel menunjukkan pukul 00:22 WIB. “Sekarang sudah tahu to?”
“Apakah
kau mengalami epifani sejak itu?”
“Mungkin,
tapi aku tidak tahu pasti.”
“Aaah,
pantas saja akhir-akhir ini kau sering menolak murid. Bukan dirimu yang selama
ini kukenal.”
“Selama
ini aku tidak pernah menerima murid. Kau tahu kemenangan, kepuasan, kekenyangan
seorang guru saat melihat muridnya berlaku dan berkata jujur.” Aku bersandar
pada tembok dengan memegang rokok yang belum menyala. “Lagian jika sekadar
bertanya dan konsul, aku cukup terbuka. Lain hal bila kemudian terjadi relasi
yang intens malah akan cukup merepotkan. Bukan padaku, melainkan orang lain.
Kau tahu sendiri kan akibatnya?”
“Ya,
ya... kebenaran memiliki dampak yang mencerahkan sekaligus mengerikan. Jikalau
tidak dikerjakan malah akan menusuk pribadi si pendengar. Terdengar kejam.”
“Di
sini lebih baik aku membatasi diri.”
“Kau
tidak takut mereka mendapatkan nasihat yang menjerumuskan?”
“Apa
peduliku,” balasku, sambil berdiri.
“Wow...wow...
sikapmu itu seolah masa bodoh, tapi nadamu sebaliknya. Ingat, ada misimu yang
belum dibatalkan sama Allah.”
“Aku
baru menyadari sesuatu.”
“Apa
itu?”
“Rambutmu
mulai memutih. Aku teringat beberapa minggu lalu, tukang cukur rambut
mengatakan bahwa di kepalaku tidak ada uban. Katanya, anak muda zaman sekarang
sudah tumbuh uban.”
“Tandanya
apa?”
“Tandanya
otakku masih waras dan belum menua. Aku masih ingat misi-misiku, mana yang
telah dibatalkan dan mana yang belum.”
“Kau
tidak takut pada misi yang tidak dibatalkan dan belum tuntas?”
“Aku
sudah pasrah dan siap menerima semua akibatnya.”
“Kau
benar-benar.... uuuh! Jangan terlalu banyak kau hisap.” Dia mengambil dua
batang rokok untukku lalu menyembunyikan bungkusnya. “Aku masih ingat dirimu
yang masih SMA yang jauh berbeda dengan yang sekarang.”
“Aku
lho baru menghidupkan sebatang,”
protesku. “Tentu saja. Setiap kali kubunuh cinta, terhapus pula separuh
hidupku.”
Kami
diam cukup lama. “Menurutmu, mereka juga mengalaminya?” tanyanya tiba-tiba,
sambil membuka lembaran-lembaran Kitab Fathur Rabbani.
“Apa?”
tanyaku balik, “hei, wudhu dulu.”
“Epifani!”
jawabnya dengan nada jengkel. Dia lantas mengembalikan buku itu ke tempat
semula.
“Kurasa
tidak.”
“Kau
tahu darimana? Berinteraksi saja tidak pernah.”
“Aku
punya indikator sendiri.”
“Apaan?”
“Aku pernah menasihati bila ada yang bertanya
atau mengirim pesan, jawablah minimal ‘ya atau tidak’. Kuprediksi pesanku itu
telah dibaca, yah, mungkin lima kali.
Dan sampai sekarang tidak dijawab. Selain itu, aku pun telah memberitahu hanya
akan menyimpan atau mengonfirmasi nomer atau akun baru dari mereka. Masih tetap
sama. Tidak ada pengaruh atau titik balik.”
“Bisa
saja ada yang mencegah atau melarang. Lagipula, orang gila macam mana yang rela
ganti nomor dan membuat akun baru hanya demi dirimu? Sinting.”
Aku
terpingkal mendengar jawabannya. “Justru itu agar mereka tetap melanjutkan
hidup dan tak terlalu memikirkan hal remeh macam aku. Siapa tahu hidup mereka
jauh lebih tentram bila tidak mendengarkan kebenaran-kebenaran yang sering
kuungkapkan.” Kulirik dia kini sibuk menggunting kuku. “Lagian, hampir setahun
lalu di mangrove aku menjelaskan pada mereka misi-misiku sebelum kejadian itu.
Kau ingin tahu dampak bila ada yang mengganggu atau menjegal atau menghalangi
misi itu?”
Dia
buru-buru menutup telinga. “Tidak ingin tahu.”
“Akan
kuberitahu hanya padamu.”
“Stop!
Hentikan! Cukup! Aku tidak mendengar! Aku tidak mendengar!”
Aku
tertawa melihat tingkahnya. “Ayolah...”
Sadar
aku hanya menggoda, dia melanjutkan kesibukan memotong kuku. “Sesuatu yang kau
tinggalkan pasti akan berbeda. Jauh berbeda. Bukan dari materiil atau
kuantitas. Entah itu aura, suasana, atau jiwanya.”
“Semoga
perbedaan itu mengarah pada sesuatu yang baik.”
“Lalu...
bagaimana cara memperbaiki semuanya?” tanyanya dan dia berhenti memotong
setelah jeda ‘klik’ yang lumayan lama.
Meski
kini aku fokus pada layar laptop, aku tahu dia menunggu jawabanku. “Tidak ada.”
“Tidak
ada atau tidak tahu?”
“Keduanya,”
balasku enteng.
“Itu paradoks!” teriaknya sambil melempar pemotong kuku yang mengenai
bahuku.
No comments:
Post a Comment