Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

May 6, 2019

Catatan Si Pemalas #14





Obrolan ringan dengan mas Noe atau sekarang lebih dikenal nama Sabrang tak mampu menghindarkan diriku untuk membayangkan sedang rebahan. Ingin rasanya memejamkan mata barang sepuluh menit saja.
Setiba di kamar setelah berbagai aktivitas, kurebahkan diri dengan mengambil sembarang buku. Novela James Joyce terpilih dari sistem acak tersebut. Untungnya, Ulysses tidak termasuk buku yang kubawa ke Surabaya untuk dibaca ulang.
Aku kaget. Hantaman sebuah benda tumpul di perut membangunkanku. Seseorang yang lama tak kujumpa tersenyum.
“Lihatlah,” katanya ringan. Kesadaranku belum pulih. Aku tidak segera melihat apa yang menghantamku. Buku Joyce di samping tubuhku tertutup dan tertekuk. Jarang sekali aku tertidur saat membaca.
Benda tumpul yang menghantam perutku adalah sebuah bola kristal. Kupandangi dengan malas sambil mendengar perbincangan orang-orang di dalam bola itu. Kulempar kembali bola kristal itu pada si empunya.
“Kau tidak ingin menjawab berbagai praduga itu?”
“Tidak. Untuk apa?” jawabku sambil berdiri menghidupkan kompor dan mulai memasak air.
“Bodoh, untuk menjelaskan!” Ia berdiri membuka pintu agar udara segar masuk. “Semisal anggapan tak profesional karena mencampuradukkan sesuatu lantas menghukum semuanya.”
“Aku sudah menjelaskan semuanya. Dan kurasa selama ini telah fair sebagai manusia yang mencoba menuntun dari luar lingkaran. Mereka bukan orang-orang bodoh yang perlu dijelaskan berkali-kali, kecuali emosi menutupinya. Aku tidak suka pemilihan diksi ‘menghukum’ karena pada dasarnya tidak ada yang dihukum dan tidak ada yang merasa dihukum.”
Aku biarkan dia mengoceh sesuka hatinya. Diriku lebih terfokus pada kopi yang hanya cukup untuk segelas saja. “Jadi, kau mampir hanya untuk melempar bola kristal itu?”
“Bukan. Lama aku tidak berkunjung. Ingin kali tahu responmu saja.”
Jam di ponsel menunjukkan pukul 00:22 WIB. “Sekarang sudah tahu to?”
“Apakah kau mengalami epifani sejak itu?”
“Mungkin, tapi aku tidak tahu pasti.”
“Aaah, pantas saja akhir-akhir ini kau sering menolak murid. Bukan dirimu yang selama ini kukenal.”
“Selama ini aku tidak pernah menerima murid. Kau tahu kemenangan, kepuasan, kekenyangan seorang guru saat melihat muridnya berlaku dan berkata jujur.” Aku bersandar pada tembok dengan memegang rokok yang belum menyala. “Lagian jika sekadar bertanya dan konsul, aku cukup terbuka. Lain hal bila kemudian terjadi relasi yang intens malah akan cukup merepotkan. Bukan padaku, melainkan orang lain. Kau tahu sendiri kan akibatnya?”
“Ya, ya... kebenaran memiliki dampak yang mencerahkan sekaligus mengerikan. Jikalau tidak dikerjakan malah akan menusuk pribadi si pendengar. Terdengar kejam.”
“Di sini lebih baik aku membatasi diri.”
“Kau tidak takut mereka mendapatkan nasihat yang menjerumuskan?”
“Apa peduliku,” balasku, sambil berdiri.
“Wow...wow... sikapmu itu seolah masa bodoh, tapi nadamu sebaliknya. Ingat, ada misimu yang belum dibatalkan sama Allah.”
“Aku baru menyadari sesuatu.”
“Apa itu?”
“Rambutmu mulai memutih. Aku teringat beberapa minggu lalu, tukang cukur rambut mengatakan bahwa di kepalaku tidak ada uban. Katanya, anak muda zaman sekarang sudah tumbuh uban.”
“Tandanya apa?”
“Tandanya otakku masih waras dan belum menua. Aku masih ingat misi-misiku, mana yang telah dibatalkan dan mana yang belum.”
“Kau tidak takut pada misi yang tidak dibatalkan dan belum tuntas?”
“Aku sudah pasrah dan siap menerima semua akibatnya.”
“Kau benar-benar.... uuuh! Jangan terlalu banyak kau hisap.” Dia mengambil dua batang rokok untukku lalu menyembunyikan bungkusnya. “Aku masih ingat dirimu yang masih SMA yang jauh berbeda dengan yang sekarang.”
“Aku lho baru menghidupkan sebatang,” protesku. “Tentu saja. Setiap kali kubunuh cinta, terhapus pula separuh hidupku.”
Kami diam cukup lama. “Menurutmu, mereka juga mengalaminya?” tanyanya tiba-tiba, sambil membuka lembaran-lembaran Kitab Fathur Rabbani.
“Apa?” tanyaku balik, “hei, wudhu dulu.”
“Epifani!” jawabnya dengan nada jengkel. Dia lantas mengembalikan buku itu ke tempat semula.
“Kurasa tidak.”
“Kau tahu darimana? Berinteraksi saja tidak pernah.”
“Aku punya indikator sendiri.”
“Apaan?”
 “Aku pernah menasihati bila ada yang bertanya atau mengirim pesan, jawablah minimal ‘ya atau tidak’. Kuprediksi pesanku itu telah dibaca, yah, mungkin lima kali. Dan sampai sekarang tidak dijawab. Selain itu, aku pun telah memberitahu hanya akan menyimpan atau mengonfirmasi nomer atau akun baru dari mereka. Masih tetap sama. Tidak ada pengaruh atau titik balik.”
“Bisa saja ada yang mencegah atau melarang. Lagipula, orang gila macam mana yang rela ganti nomor dan membuat akun baru hanya demi dirimu? Sinting.”
Aku terpingkal mendengar jawabannya. “Justru itu agar mereka tetap melanjutkan hidup dan tak terlalu memikirkan hal remeh macam aku. Siapa tahu hidup mereka jauh lebih tentram bila tidak mendengarkan kebenaran-kebenaran yang sering kuungkapkan.” Kulirik dia kini sibuk menggunting kuku. “Lagian, hampir setahun lalu di mangrove aku menjelaskan pada mereka misi-misiku sebelum kejadian itu. Kau ingin tahu dampak bila ada yang mengganggu atau menjegal atau menghalangi misi itu?”
Dia buru-buru menutup telinga. “Tidak ingin tahu.”
“Akan kuberitahu hanya padamu.”
“Stop! Hentikan! Cukup! Aku tidak mendengar! Aku tidak mendengar!”
Aku tertawa melihat tingkahnya. “Ayolah...”
Sadar aku hanya menggoda, dia melanjutkan kesibukan memotong kuku. “Sesuatu yang kau tinggalkan pasti akan berbeda. Jauh berbeda. Bukan dari materiil atau kuantitas. Entah itu aura, suasana, atau jiwanya.”
“Semoga perbedaan itu mengarah pada sesuatu yang baik.”
“Lalu... bagaimana cara memperbaiki semuanya?” tanyanya dan dia berhenti memotong setelah jeda ‘klik’ yang lumayan lama.
Meski kini aku fokus pada layar laptop, aku tahu dia menunggu jawabanku. “Tidak ada.”
“Tidak ada atau tidak tahu?”
“Keduanya,” balasku enteng.
“Itu paradoks!” teriaknya sambil melempar pemotong kuku yang mengenai bahuku.

No comments:

Post a Comment