“Tanggal 1
Mei di hotel, cak. Kudu iso. Yen ora iso golekno gantimu.”
Panggilan
dengan nada agak maksa itu hadir tatkala sedang khusyuk mengerjakan laporan.
“Aseem,” umpatku. Untungnya si penelepon sudah terbiasa dengan umpatan itu.
Percakapan
itu ditutup, “lek gak ada kamu
siap-siap. Hahahaha...!”
Saat
mendengar materi LKMM, “Manajemen Organisasi, Komunikasi dalam Organisasi, dan
Penjabaran Gagasan Awal” dalam benakku sudah membentuk layout materi yang akan
kusampaikan jika memang harus mengisi karena pada 2 Mei ada penutupan lustrum. Yah setidaknya saya akan berbicara
tentang perbedaan efektif dan efisien, perencanaan, komunikasi vertikal maupun
horizontal yah mirip-mirip WoG. Untuk Gaswal perlu mengidentifikasi masalah dan
anakoling terlebih dahulu. Terdengar kaku dan perlu tersistematis, sayangnya
bukan gayaku.
Pada akhirnya,
aku perlu mencari pengganti juga karena harus ada prioritas utama: sarasehan
lustrum yang menyita fisik dan pikiran.
Selama
seminggu berinteraksi dengan muda/mudi pada rangkaian acara lustrum kerap
muncul pertanyaan “Enak nggak, pak, jadi *****?” Pertanyaan yang sebenarnya
tidak asing bagiku karena baik di sini maupun di sana akan ada yang selalu bertanya
demikian. Bila dijawab secara subjektif dan bersifat khusus untuk diriku yang
tidak pernah bercita-cita menjadi seorang *****, saya menjawab “Tidak enak.”
Ada berbagai faktor yang membuatku menjawab demikian.
Pertama,
masalah celana panjang. Mana ada ***** yang masuk kelas memakai celana 3/4 atau
sarung. Orang-orang yang mengenal dekat diriku pasti tahu alasannya bahwa saya
alergi dengan celana panjang. Paha dan belakang lutut sering gatal jika memakai
celana. Bahkan teman SMA ku dulu sering protes karena saya selalu memakai
celana ¾ saat bertamu ke guru atau acara-acara formal. Boleh dibilang sejak SMA
sampai sekarang saya memiliki celana panjang yang dapat dihitung dengan jari.
Selain alasan gatal, celana panjang itu panas. Sumuk. Lebih enak mengenakan
sarung yang semriwing. Saya jadi merasa bersalah pada kawan-kawan magister
kalau mengingat-ingat soal sarung. Mereka tentu malu ketika jalan-jalan di mall
bersama denganku yang mengenakan sarung. Pada awal-awal mengajar dulu, saya
selalu membawa ganti celana pendek atau sarung saat gatal dan sumuk mendera.
Kedua,
masalah wibawa. Dilihat dari segi mana pun, bahkan sedotan sekali pun, diriku
tidak memiliki sikap dan tingkah laku yang layak dihormati. Sering cengengesan,
ketawa keras, dan terlalu woles. Saya sering mendengar bahwa profesi ini perlu
menjaga wibawa, namun hal tersebut tak berlaku padaku. Intinya, kewibawaan itu
tidak ada pada diriku.
Ketiga,
sifat pemalas. Boleh dikatakan bahwa diriku lebih suka tidur daripada bertemu
manusia dengan berbagai problematikanya. Bila demikian saya lebih memilih diam
dan malas menanggapinya. Anehnya, Allah selalu ada saja cara menghadirkan
permasalahan-permasalahan manusia kehadapanku. Terlebih menghadapi manusia yang
kadang labil dan galau pada usia-usia puber mereka.
Keempat,
tanggung jawab. Beban tanggung jawab ***** itu besar dan berat. Sejak menjalani
profesi ini di pundak dan punggungku terasa ada gunung yang menggantung. Mencerdaskan
kehidupan bangsa? Saya sendiri masih ragu sanggup mencerdaskan satu orang
manusia. Alasannya sederhana, karena saya sendiri merasa masih belum cerdas. Saya
kerap merenung, apakah yang kusampaikan kelak berguna dan mampu mendongkrak
kecerdasan?
Kelima,
sekarepe dewe. Well, profesi ini punya
tuntutan menjaga etika dan hal-hal yang perlu dijalankan. Ini jelas berbanding
terbalik dengan diriku yang sering sekarepe
dewe. Kadang patuh pada sistem, dan lebih sering menciptakan sistem sendiri.
Keenam,
niat. Konon, menjadi ***** perlu niat yang mulia dan blablabla. Tiada terlintas
dalam benakku untuk menjadi *****. Jadi, semua terjadi begitu saja layaknya big bang. Usai sholat istikharah karena
bimbang perihal kegiatan yang sedang kugeluti, Allah menceburkan diriku pada
beasiswa ***** yang sangat mengikat. Hal itu terjadi hingga diriku tenggelam
sampai sesak napas.
Barangkali saya
tidak akan menjadi ***** yang ideal karena berbagai hal. Tetapi, karena sudah
tenggelam saya hanya bisa berkata, “yawes
pie maneh kudu dinikmati pilihane Gusti Allah”.
Makanya
ketika Brian mengatakan, “***** is the
best job ever”, aku hanya bisa garuk-garuk ketek. Mungkin profesi ini cara
Tuhan agar diriku bisa membayar kualat masa silam. Meskipun demikian, saya senang melihat muda-mudi yang memiliki niat menggebu mencerdaskan kehidupan bangsa. Tinggal diasah dengan baik dan benar, meski kerap kulihat mereka layu sebelum tumbuh dan berkembang. Entah karena salah asuhan atau salah memilih jalan.