Jauh sebelum mengenal Levinas,
saya sudah memercayai perihal wajah sebagai jejak ilahi yang bersifat
transenden. Berkali-kali saya bertemu dengan seseorang yang mengatakan bahwa
wajahku seperti A, B, C yang merujuk beberapa tokoh yang telah tiada. Yang
mengejutkan, mereka ada benarnya setelah kutelusuri silsilahku. Ini bukan
perihal reinkarnasi, dan Tuhan dalam wujud manusia. Ini suatu hal yang berbeda,
aku melihat wajah dari suatu sudut pandang yang berbeda: dapat berupa
pengingat, hukuman, penghormatan, atau bentuk perbaikan kesalahan masa lalu.
Bagi sebagian orang mungkin terdengar konyol dan terlau mengada-ada, namun ini
riil.
Bagi Levinas, wajah dilihat
sebagai jejak (trace) yang tak
terbatas (the infinite). Ia lebih
memilih kata “jejak” dibandingkan kata “tanda” karena terdapat unsur transenden
dari tak terbatas, kalau dalam sudut pandangku Ilahi. Kata jejak memberikan
suatu pemahaman bahwa ada objek yang tertinggal dan masih bisa dikenali. Objek
sebagai sumber jejak sudah tidak ada lagi. Ia tidak hadir, tetapi masih bisa
ditelusuri kehadirannya.
Saat aku melihat foto si bocil,
aku seperti melihat jejak seseorang yang tak hadir di sana, namun masih bisa
kukenali, yakni diriku sendiri. Pada kasus lain, aku juga melihat wajah
seseorang yang kukenali, akan tetapi bukan wajah orang tersebut. Nah, di
sinilah sifat transendennya. Ada relasi saat wajah dapat didominasi persepsi,
namun sesuatu yang khas dari wajah tak dapat direduksi oleh persepsi. Kamu
melihat orang yang kau kenal, dan saat yang bersamaan dia bukanlah orang yang
dimaksud. Wajah mampu mengungkapkan keberlainan yang lain yang tak mampu
direduksi, baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatan di baliknya. Yang tak
terbatas atau Ilahi sebagai pihak ketiga telah menyingkapkan jejak sekaligus
memberikan perintah kepada subjek yang melihatnya untuk bertanggungjawab.
Pada sisi lain, perlu diketahui
bahwa jejak juga memiliki fungsi seperti tanda yang mengandung pesan untukku.
Manusia tak hanya memberikan makna-makna berbagai objek intensional yang
disadari, melainkan juga dibentuk dan dipengaruhi secara kuat oleh berbagai
penampakan objek yang implisit.
Wajah memang layaknya enigma.
Terkadang, wajah memberikan sifat traumatis atau kekhawatiran. Trauma bukan
dalam artian berteriak ketakutan atau histeris, melainkan semacam ada kehadiran
yang lain dari objek yang lain. Saya tahu karena pernah mengalami fase ini.
Wajah itu bahkan pernah hadir dalam mimpi dan saat terbangun bantal menjadi
basah. Uniknya, beberapa minggu silam atau mungkin sebulan lalu saya mimpi bertemu
dengan orang yang sama, akan tetapi wajahnya tertutup cadar.
Di negara yang mengaku bermahzab
Syafi’i yang menulis al-Umm, cadar seperti sesuatu yang ganjil. Saya seperti
melihat sisi lain dari cadar: mengikis trauma pada wajah-wajah tertentu.
Dari berbagai rasa kepo dan
wawancara terhadap pengguna cadar ada beberapa problem yang kerap mereka
hadapi. Saya membaginya menjadi dua problem, yaitu internal dan eksternal. Dari
Sisi internal adalah konsistensi. Saat seseorang bercadar, ia dituntut untuk
konsisten dalam memakainya, mengamalkan ajaran-ajaran agama, serta perilaku
yang berbeda. Inkonsistensi justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri dan
juga bagi pengguna cadar yang lain. Pada dasarnya cadar untuk menghindari
fitnah, tetapi apa yang dipikirkan manusia saat melihat wanita bercadar
keluar-masuk kamar lelaki yang bukan suaminya? Atau bagaimana jika istri/anak
perempuan/saudarimu dibawa oleh lelaki yang tak dikenal? Hal tersebut justru
menimbulkan streotip negatif dan fitnah.
Pada sisi eksternal, tekanan keluarga
dan lingkungan sekitar yang asing terhadap cadar begitu besar. Kurasa ini wajar
mengingat cadar mulai berkembang (dalam pengamatanku) di tengah masyarakat
Indonesia sekitar sepuluh tahun silam. Sebelum era reformasi wanita bercadar, maupun
berjilbab sangat langka. Sekiranya masyarakat mengerti dan memahami pendapat
empat mahzab tentang cadar, kurasa tak akan terjadi kehebohan pada tataran
sosial. Khususnya pada ruang lingkup keluarga apabila salah satu anggotanya
memutuskan bercadar, tambahan pula mendesak ingin segera menikah. Ini seperti geledek
siang hari yang menyambar-menyambar langit kaum umat Nabi Yunus AS. Tak usah
dibayangkan, nyatanya memang ada dan banyak.
Begitulah ujian nyata bagi kaum
perempuan. Jika keputusannya itu datang dari diri sendiri dan ikhlas, ia akan
tetap konsisten. Dan bila keputusannya itu bukan dari dirinya atau ternodai
motif-motif lain, Ia akan mengalami kekecewaan dan berhenti serta menanggalkan cadarnya.
Kalau kamu bertanya ujian bagi
lelaki, yang pasti menjaga pandangannya. Mau telanjang ataupun bercadar kalau
mata lelaki jelalatan yo podo wae marai
perkoro. Sayangnya, di luar sana banyak yang seperti itu. Aku kerap bersyukur
mataku menjadi minus sehingga wajah-wajah nampak pudar.
No comments:
Post a Comment