Berbagai kegiatan mekanik yang
bertubi-tubi membuat otak dan psikisku letih. Di bawah pohon kersen dan
beberapa ekor burung perkutut, iseng-iseng aku membuat proposal pelatihan: Kawula Training. Pelatihan kepemimpinan
(leadership training) sudah
mainstream bos... jadi, pelatihan menjadi kawula, abdi, babu, jongos, kacung
juga sama pentingnya. Tetapi, perihal kawula ini dianggap rendahan, tidak
modern, tidak menjual bahkan menjijikkan sehingga tidak layak untuk dijadikan
pelatihan.
Pelatihan kepemimpinan memang
penting karena setiap orang akan memimpin, minimal dirinya sendiri. Namun,
mereka kerap lupa bahwa di luar sana mereka juga akan menjadi kawula, abdi,
kacung, ma’mum orang lain. Kepemimpinan itu terkait kekuasaan. Benar bila ada yang
mengatakan bahwa kekuasaan dapat mengubah banyak hal dan biasanya yang pertama
berubah ialah pemegangnya. Sayangnya, pemimpin itu hanya satu sedangkan yang
memeroleh pelatihan kepemimpina itu banyak sekali. Apa yang terjadi jika
seseorang sudah tidak lagi menjadi seorang pemimpin? Post power syndrome.
Kawula training akan berfokus pada cara-cara menjadi kawula, abdi,
babu, jongos, kacung yang baik sekaligus mempersiapkan mental saat kembali menjadi
kawula dan tak lagi memimpin. Kawula yang baik tidak harus patuh seratus
persen. Ia harus ingat kewajiban-kewajibannya karena ada kalanya seorang
pemimpin memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Misalkan, ada
pemimpin yang menyuruh datang bawahannya hanya untuk permasalahan-permasalahan
pribadi. Padahal si bawahan masih memiliki kewajiban dan tanggungjawab yang
harus diselesaikan. Relasi yang seperti ini berbahaya. Berbagai skandal dalam
institusi formal maupun sosial-keagamaan dimulai dari model relasi seperti ini.
Apalagi jika hal tersebut dibalut dengan alasan agenda atau kegiatan institusi.
Yah maklum saja, tak mungkin si bos berkata terus terang “temani saya” yang
justru malah mengkhawatirkan.
Sang kawula, babu, atau abdi dalam
menghadapi pemimpin yang seperti ini perlu tegas dan fokus pada prioritas kewajiban.
Sayangnya, karena model pelatihan kawula itu minim, jadi saya kerap menjumpai
kawula, babu, atau abdi yang taklid. Ini tentu saja berbahaya karena sifat
taklid seseorang sering bingung sendiri dan dengan mudah akan diperbudak model
pemimpin tadi. Sifat taklid ini juga yang menghalangi si kawula, babu, atau
jongos tidak dapat mandiri. Coba bayangkan sikap taklidmu dibawa sampai mati,
saat ditanya malaikat penjaga kubur, meski sudah dikasih tahu modin kisi-kisi
jawaban tak akan berpengaruh karena ke-taklid-an yang membutakan jawaban. Masa saat
kamu ditanya malaikat, siapa Tuhanmu? Lantas kamu jawab, “Tuhanku si Bos”. Akhirnya,
kena gebuk malaikat.
Jadi, hal pertama yang harus
dilakukan oleh kawula, abdi, kacung, jongos, atau ma’mum adalah mencari
pemimpin yang baik. Apabila hidupmu fiksi bolehlah kamu seperti Togog yang
kerap salah dalam mencari majikan. Akan tetapi, ini dunia real. Dunia dengan
aneka macam persoalan yang akan menentukan hendak kemana setelah kematian, dan para
kawula itu butuh penuntun yang memiliki prinsip, tegas, adil, tahu benar-salah
dan pada satu sisi bisa membuat para kawula mandiri.
Kedua, carilah majikan yang tak
hanya menyakinkan dalam berbicara, tetapi juga dalam tindakan. Banyak majikan
yang hanya bisa menyuruh, tetapi tidak dapat dengan baik memberikan teladan. Aku
sudah kenyang bertemu dengan model majikan seperti ini. Apalagi jika majikan
itu dibekali kemampuan public speaking
yang mampu menyakinkan audien.
Kira-kira begitulah bocoran isi
proposal iseng-isengku. Ada suara derak daun-daun keres dan obrolan singkat
muda-mudi. Mereka berceloteh karena sang guru keluar tanpa sebab dan seluruh
kelas tidak tahu alasannya. Aku tersenyum dan membatin, “kalian ditinggalkan
karena seluruh kelas tidak mendengarkan.” Bagaimana aku tahu? Karena aku pernah
meninggalkan kelas yang demikian. Bukannya tak peduli, sebaliknya kelas itu
yang tak peduli pada tujuan dan tanggungjawabnya. Pada sisi lain si guru ingin
menyadarkan seluruh kelas dan melatih untuk mendengarkan. Sayangnya, mungkin ada
yang melihat hal ini bukan sebagai bagian dari pelajaran melainkan bentuk ketidakpedulian.
Nah, argumen seperti ini terkesan angkuh dan sentimen. Tak cocok menjadi calon
majikan penerus bangsa.
Nampaknya, aku perlu menyudahi
tulisan ini. Senja mereda menebar belas kasih di tangan. Sayup-sayup terdengar
sebuah nada dari handphone salah satu muda-mudi itu. Aku suka lagu lama yang
memberi demam hujan.
No comments:
Post a Comment