Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Apr 2, 2019

Catatan Si Pemalas #12









Berbagai kegiatan mekanik yang bertubi-tubi membuat otak dan psikisku letih. Di bawah pohon kersen dan beberapa ekor burung perkutut, iseng-iseng aku membuat proposal pelatihan: Kawula Training. Pelatihan kepemimpinan (leadership training) sudah mainstream bos... jadi, pelatihan menjadi kawula, abdi, babu, jongos, kacung juga sama pentingnya. Tetapi, perihal kawula ini dianggap rendahan, tidak modern, tidak menjual bahkan menjijikkan sehingga tidak layak untuk dijadikan pelatihan.

Pelatihan kepemimpinan memang penting karena setiap orang akan memimpin, minimal dirinya sendiri. Namun, mereka kerap lupa bahwa di luar sana mereka juga akan menjadi kawula, abdi, kacung, ma’mum orang lain. Kepemimpinan itu terkait kekuasaan. Benar bila ada yang mengatakan bahwa kekuasaan dapat mengubah banyak hal dan biasanya yang pertama berubah ialah pemegangnya. Sayangnya, pemimpin itu hanya satu sedangkan yang memeroleh pelatihan kepemimpina itu banyak sekali. Apa yang terjadi jika seseorang sudah tidak lagi menjadi seorang pemimpin? Post power syndrome.

Kawula training akan berfokus pada cara-cara menjadi kawula, abdi, babu, jongos, kacung yang baik sekaligus mempersiapkan mental saat kembali menjadi kawula dan tak lagi memimpin. Kawula yang baik tidak harus patuh seratus persen. Ia harus ingat kewajiban-kewajibannya karena ada kalanya seorang pemimpin memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Misalkan, ada pemimpin yang menyuruh datang bawahannya hanya untuk permasalahan-permasalahan pribadi. Padahal si bawahan masih memiliki kewajiban dan tanggungjawab yang harus diselesaikan. Relasi yang seperti ini berbahaya. Berbagai skandal dalam institusi formal maupun sosial-keagamaan dimulai dari model relasi seperti ini. Apalagi jika hal tersebut dibalut dengan alasan agenda atau kegiatan institusi. Yah maklum saja, tak mungkin si bos berkata terus terang “temani saya” yang justru malah mengkhawatirkan.

Sang kawula, babu, atau abdi dalam menghadapi pemimpin yang seperti ini perlu tegas dan fokus pada prioritas kewajiban. Sayangnya, karena model pelatihan kawula itu minim, jadi saya kerap menjumpai kawula, babu, atau abdi yang taklid. Ini tentu saja berbahaya karena sifat taklid seseorang sering bingung sendiri dan dengan mudah akan diperbudak model pemimpin tadi. Sifat taklid ini juga yang menghalangi si kawula, babu, atau jongos tidak dapat mandiri. Coba bayangkan sikap taklidmu dibawa sampai mati, saat ditanya malaikat penjaga kubur, meski sudah dikasih tahu modin kisi-kisi jawaban tak akan berpengaruh karena ke-taklid-an yang membutakan jawaban. Masa saat kamu ditanya malaikat, siapa Tuhanmu? Lantas kamu jawab, “Tuhanku si Bos”. Akhirnya, kena gebuk malaikat.

Jadi, hal pertama yang harus dilakukan oleh kawula, abdi, kacung, jongos, atau ma’mum adalah mencari pemimpin yang baik. Apabila hidupmu fiksi bolehlah kamu seperti Togog yang kerap salah dalam mencari majikan. Akan tetapi, ini dunia real. Dunia dengan aneka macam persoalan yang akan menentukan hendak kemana setelah kematian, dan para kawula itu butuh penuntun yang memiliki prinsip, tegas, adil, tahu benar-salah dan pada satu sisi bisa membuat para kawula mandiri.

Kedua, carilah majikan yang tak hanya menyakinkan dalam berbicara, tetapi juga dalam tindakan. Banyak majikan yang hanya bisa menyuruh, tetapi tidak dapat dengan baik memberikan teladan. Aku sudah kenyang bertemu dengan model majikan seperti ini. Apalagi jika majikan itu dibekali kemampuan public speaking yang mampu menyakinkan audien.

Kira-kira begitulah bocoran isi proposal iseng-isengku. Ada suara derak daun-daun keres dan obrolan singkat muda-mudi. Mereka berceloteh karena sang guru keluar tanpa sebab dan seluruh kelas tidak tahu alasannya. Aku tersenyum dan membatin, “kalian ditinggalkan karena seluruh kelas tidak mendengarkan.” Bagaimana aku tahu? Karena aku pernah meninggalkan kelas yang demikian. Bukannya tak peduli, sebaliknya kelas itu yang tak peduli pada tujuan dan tanggungjawabnya. Pada sisi lain si guru ingin menyadarkan seluruh kelas dan melatih untuk mendengarkan. Sayangnya, mungkin ada yang melihat hal ini bukan sebagai bagian dari pelajaran melainkan bentuk ketidakpedulian. Nah, argumen seperti ini terkesan angkuh dan sentimen. Tak cocok menjadi calon majikan penerus bangsa.

Nampaknya, aku perlu menyudahi tulisan ini. Senja mereda menebar belas kasih di tangan. Sayup-sayup terdengar sebuah nada dari handphone salah satu muda-mudi itu. Aku suka lagu lama yang memberi demam hujan.


No comments:

Post a Comment