Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Jun 23, 2015

TAK SEKEDAR TENTANG AYAH



Nama Buku     : AYAH
Penulis             : Andrea Hirata
Penerbit           : Bentang
Cetakan           : Pertama, 2015
Tebal               : xx+412 halaman

Wahai awan
Kalau bersedih
Jangan menangis
Janganlah turunkan hujan
Karena aku mau pulang
Untukmu awan
Kan kuterbangkan layang-layang…

            Di kala Bulan Ramadhan kutulis sesuatu yang kuanggap resensi ini pada malam hari. Jika ditulis siang hari tak ada rokok yang menemani. Tentunya para jomblowan dan jomblowati mengerti rasanya sendiri. Di tengah deadline tesis yang kian mencekik dan daripada siang hari tidur pulas atau tak bisa tidur kembali, akhirnya kuputuskan untuk membaca novel ini. Meskipun pada mulanya ‘sang malam’ mengatakan bagus, namun kisahnya sensitif. Benakku bertanya-tanya, apanya yang membuat sensitif? Apakah novel ini berkisah tentang ayah yang berpoligami? Atau tentang kekerasan rumah tangga yang dilakukan oleh si ayah? Dan seperti biasanya ‘sang malam’ dan dia memang selalu begitu. Dia yang suka membuatku bertanya-tanya.
            Ini novel kedelapan karya Andrea yang kubaca setelah tetralogi laskar pelangi, dwilogi Padang Bulan, dan Sebelas Patriot (yang tipis itu). Puzzle. Seperti itulah Andrea menyusun kisahnya layaknya puzzle yang bertebaran tak beraturan dengan bab-bab kemudian semakin jelas dan terang di menjelang akhir. Tak lupa menjadi kebiasaan sang penulis menyisipkan karakter dan kisah jenaka dalam ceritanya. Pendalaman karakter dan kebiasaan masyarakat Belitong dan sekitarnya menjadi keunggulan Andrea. Terutama tema kawin-cerai yang hari ini kian marak tak luput dari pengamatan. Novel ini tidak melulu tentang Ayah, lebih dari itu, ini kisah tentang menjadi ayah dan anak, perjuangan cita dan cinta, keputusasaan, persahabatan, harapan dan kebangkitan. Saya mahfum ketika sang malam bilang ini sensitif karena ada cerita tentang perjuangan cinta di kala SMA (hohoho…). Ternyata masih cemburu jua dikau. Padahal sudah tiga tahun lalu engkau membaca cerpen itu. Tenang, ada kok kisah tentang dirimu yang masih mengendap di kepala ini. Tinggal nunggu mood saja (munculin mood itu yang susah hehehe).
            Kisah sentralnya adalah Sabari yang sabar meski cintanya bertepuk sebelah tangan. Ia sangat terinspirasi oleh karya Gabo “Love in the Time of Cholera”. Saya mengira kisah akan berakhir seperti pernikahan Florentina Ariza dan Fermina Daza setelah menunggu lebih dari setengah abad. Namun, nyatanya tidak karena ini karya Andrea bukan Gabo jadi lebih realistis. Zorro meskipun bukan anak biologis Sabari, tetapi Ia membesarkan dengan rasa cinta dan ketulusan seoarang Ayah (pada fase ini jadi inget lagu Angge-Angge Orong-Orong). Zorro yang dibesarkan dengan kasih sayang, cinta dan puisi oleh Sabari menjadi anak yang halus budi pekertinya. Apalagi Zorro pun juga pintar bersyair seperti Sabari. Salah satu puisi Rayuan Awan mungkin yang menurutku mengena. Yah, meskipun saat ini layang-layang tidak terlalu populis karena semakin minimnya tanah lapang dan kerap menjadi penyebab mati listrik (sering menghiasi kabel-kabel listrik dan telepon). Suatu pembelajaran bagaimana mendidik seoarang anak. Lantas ada kisah Ukun dan Tamat sebagai kawan yang pontang-panting keliling Sumatra mencari Ibu dan anak yang membuat kawannya menjadi gila. Semangat Izmi dan keluguan Amirza yang menambah ruh novel. Dan pembelajaran paling penting dari novel ini adalah tak selamanya penyair mendapatkan cinta yang dia inginkan atau mungkin Sabari kurang mempergunakan syairnya untuk menggombal hehehe… Pesanku, “Sabari, engkau perlu belajar pada Dilan.”
            Sudah ah. Sekian dulu. Waktu refreshing sudah lewat. Sekarang memasuki waktu mengetik tesis.

No comments:

Post a Comment