Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Mar 17, 2011

Metafor Persönlichkeiten

Add caption
Hmmm….. memetaforakan diriku sendiri memang rumit. Entah karena aku merasa mengidap Schizoprenia alias berkepribadian lebih dari satu:
Aku I: aku seperti badut yang menikmati dan mensyukuri profesinya. Sebelum menjadi badut, dia selalu jengkel jika dijadikan bahan tertawaan ataupun guyonan karena tingkahnya, gaya bahasanya, wajahnya atau ketika cerita dengan mimik yang serius tapi tetap mengundang tawa teman - temannya. Sampai akhirnya dia sadar bahwa jengkel atau kesal pun tiada gunanya. Otaknya yang seperti batu digetok dengan palu sehingga dia tersadar bahwa itulah tujuan hidupnya. Menurutnya tujuan hidup adalah ibadah baginya kurang konkret karena banyak bentuk ibadah. Dan membuat orang tersenyum adalah amalan ibadah yang ditugaskan Allah untuknya. Allah menciptakan manusia dengan tujuannya masing-masing dan berbeda-beda sehingga tercipta harmoni, keindahan serta saling mengisi antar manusia. Akan tetapi pada intinya memang sama yaitu ibadah. Sang badut selalu bisa membuat orang lain tersenyum dan terhibur meskipun sulit menghibur dirinya sendiri. Tetapi dia tetap bersyukur karena Allah telah menciptakan banyak badut – badut lain yang bisa menghibur dirinya.
Aku II : Aku adalah sampan yang tidak berpenumpang. Tidak tahu kenapa bisa berada ditengah samudra yang luas. Samudra tanpa ombak, gelombang ataupun riak – rika kecil. Dia bergerak tanpa arah dan tujuan. Bingung dengan kondisinya yang bergerak tanpa ada yang menggerakkannya. Selalu,dan selalu yang dijumpai adalah samudra dan langit yang cemberut. Mencoba mengajak bicara pada langit tapi jawabannya adalah diam. Kemudian mengajak berdialog dengan samudra jawaban yang sama juga diterimanya. Dia berharap angin ada yang lewat untuk menyapanya, faktanya tidak ada yang lewat. KOSONG, HAMPA, SUNYI yang dijumpainya.
Aku III : Di lain waktu aku berubah menjadi pohon jambu air yang tumbuh dan besar di puncak bukit. Bukit yang ditumbuhi pohon beringin yang besar, gagah dan angkuh. Saat musim berbuah banyak gerombolan kera yang mendatangiku. Mereka sangat senang dengan apa yang aku hasilkan. Mereka sering memperebutkanku sebagai markas mereka. Aku ingin marah pada mereka karena selalu membuat keributan entah pada saat mereka bertarung untuk meperebutkan aku atau kegaduhan yang dibuat pada saat mereka bermain-main di tubuhku. Ada satu hal yang sering aku ingkari yaitu aku rindu keganduhan yang sering mereka buat di sekitarku meskipun aku suka sendirian.
Aku IV : Yang terakhir adalah diriku yang seperti awan hitam tebal yang mudah menjatuhkan titik-titik air ketika aku dibawa angin melihat pemandangan aneh. Aneh, melihat manusia yang menipu, membunuh, menyiksa, menyakiti bahkan membiarkan teman sesamanya mati kelaparan. Tapi aku senang ketika dibawa angin melihat camp – camp penahanan para tikus berdasi yang berada di luar tata surya. Para tikus yang korup dikucilkan di sebuah pulau yang memiliki hutan perawan. Disanalah sang tikus menjalani hukumannya. Jauh dari peradaban dan kemewahan yang pernah dirasakannya. Yang ada hanyalah penyiksaan fisik dan psikis. Untuk fisik mereka disuruh menambang sebuah batu yang digunakan untuk bahan bakar di planet tesebut tanpa upah makanan. Setelah petang mereka masuk ke hutan dan mencari makan dengan berburu hewan.tanpa pengalaman berburu mereka banyak yang mati dimakan sendiri oleh binatang buruannya. Perang antar tikus pun tidak bisa dihindari dikarenakan tekanan mental mereka untuk bertahan hidup yang serba sulit. Setelah masa hukuman selesai mereka diperbolehkan kembali ke rumah. Mayoritas dari mereka kembali dengan wajah kosong tanpa ekspresi karena pulau tersebut telah menghisap gairah hidup sang napi, tikus yang melakukan korupsi akan berpikir berulang kali untuk menilap uang negara.

No comments:

Post a Comment