Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Jan 4, 2020

Jalan Becek, Gang Buntu VI





Ia menyelisik sesuatu yang kupegang. Ada rasa segan untuk menggangguku. Bukan lantaran buku yang sedang kupegang, melainkan benda yang melekat di telingaku. Benda itu sengaja kupakai agar dapat fokus membaca meskipun tidak sedang mendengarkan musik. Namun, gelagatnya yang ingin mengajak bicara malah mengganggu konsentrasiku.

Aku tersenyum padanya dan melepas earphone di telingaku. “Pripun, pak? Ada yang bisa kubantu?”

“Buku apa yang dibaca?” tanyanya. Bapak itu berusia sekitar lima puluh tahunan dengan uban yang telah mulai tumbuh. Kulitnya putih khas etnis Tionghoa. Kuserahkan buku Interpretasi dan over interpretasi karya Umberto Eco padanya. Kemudian, di atas kereta sepanjang perjalanan menuju Yogyakarta kami membicarakan banyak hal. Dari masalah ramah tamah hingga masalah yang sedang hangat. Tetapi, ada suatu obrolan yang membuatku terkesan sekaligus membuatku tercenung saat sampai di stasiun tujuan.

“Indonesia ini jumlah muslimnya terbesar di dunia, tapi bodoh-bodoh.” Ia memulai pembicaraan yang kontroversial.

Aku kaget dengan pernyataannya itu. Lalu ia mejelaskan. “Perintah pertama mereka kan disuruh membaca. Temanku yang islam jarang yang suka baca. Baca buku itu kan paling gampang dibanding melihat kondisi sekitar. Itu aja malas, eh sok-sokan jadi pakar.”

Ternyata bapak itu paham konteks membaca dalam surat tersebut. Ia mendapatkan pemahaman tersebut dari temannya. Setelah itu ia jadi rajin membaca dan menyuruh anak-anaknya untuk senang membaca. Baginya mungkin itu sudah cukup, namun bagiku belum.

Aku akan coba membedah ayat yang dimaksud beliau, yakni surat Al-Alaq ayat 1-5. Aku menguraikan surat tersebut dengan ringkas. Tentu saja ada versi panjangnya, tetapi tidak pada tulisan ini. Semoga Allah memberikan kekuatan dan kesempatan untuk menuliskan versi lengkapnya.

Sebenarnya, dari pembedahan tersebut diriku memiliki rumus atau kiat dalam mempelajari ilmu dunia:
  1. Berdoa
  2. Membaca
  3. Menganalisis dan berdiskusi
  4. Menulis
  5. Berterima kasih kepada Allah dan penulis buku
  6. Mengamalkannya.

Ada dua kali perintah iqra’. Iqra’ yang pertama ingin menegaskan perbedaan membaca biasa dengan membaca yang benar. Pada ayat pertama, ketika akan membaca harus menyebut nama Allah yang telah menciptakan segala sesuatu. Kecelakaan membaca tanpa berdoa atau menyebut nama Allah ialah kesalahan dalam menyimpulkan atau tidak meresapnya ilmu dalam qalbu manusia. Ayat pertama ini mengukuhkan bahwa Allah pemilik segala sesuatu. Dari sesuatu yang tiada menjadi ada, dan sebaliknya yang mulanya ada menjadi tiada. Termasuk ilmu. Atas kehendak Allah, siapapun dapat dicabut atau diambil lagi ilmu yang dimilikinya. Atau Allah ganti dengan ilmu yang lain. Hal ini tergantung dari tingkat konsistensi pemegang ilmu, salah satunya adalah mengajarkannya kembali dan mengamalkannya. Ada hadist yang membahas lengkap perihal ini.

Ayat kedua pada surat Al-Alaq hendak mengingatkan asal-usul kita. Perihal ini aku teringat kisah salah seorang sahabat, Abu Bakar jika tidak salah ingat. Sahabat Rasulullah tersebut kerap mengingatkan orang sombong dan angkuh dengan istilah ini. Diriwayat lain ada juga yang mengingatkan orang sombong atau angkuh dengan istilah “air mani”. Aku belum mengecek kembali terkait hal ini.

Posisi manusia yang berasal dari segumpal darah memberikan suatu pemahaman bahwa kita dulunya bukanlah apa-apa. Apakah orang tua kita pernah mengajarkan cara merangkak, menangis, tertawa, berdiri? Lantas, siapakah yang mengajarkan itu semua jika bukan Allah? Insting? Siapa yang menaruh insting pada diri kita sejak lahir kalau bukan Allah? Istilah insting adalah pemberian yang melekat pada manusia karena berangkat dari kebingungan manusia untuk menjelaskan hal-hal yang tanpa perlu dipelajari sejak lahir.

Ayat ketiga terdapat perintah “bacalah” lagi. Perintah ini berbeda dengan perintah “bacalah” yang pertama, tetapi memiliki maksud mengukuhkan. Iqra’ yang pertama aku menakwilkannya dengan kata terakhir, khalaqa, saat diriku benar-benar kosong, nihil, hina, dan bodoh. Tak memiliki apapun, hingga Allah menghadirkan pengetahuan dan pemahaman atas sesuatu dari yang kubaca. Pengetahuan dan pemahaman tersebut semakin bertambah setelah melalui proses analisis dan diskusi.

Iqra’ kedua berkaitan dengan kata Al-Akram, sifat Allah yang Maha Pemurah. Dapat pula kata tersebut dimaknai memberikan sesuatu yang pantas, tanpa pamrih, mulia, dan bernilai tinggi. Sifat inilah yang perlu diresapi. Segala sesuatu yang kita peroleh dari Allah melalui membaca tak boleh berhenti pada diri sendiri. Harus disebarkan dan diajarkan pada orang yang belum mengetahui, namun dengan memerhatikan makna dari kata Al-Akram. Hal ini memiliki maksud untuk melihat kondisi serta kepantasan atau kelayakan dari si penerima ilmu. Ilmu yang kuajarkan dan berikan cukup Allah yang membalas dengan cara-Nya sendiri. Jikalau hal tersebut dirasa sulit maka perlu dilatih.

Ayat keempat memiliki keterkaitan dengan ayat sebelumnya. Secara garis besar salah satu sifat pemurah Allah ialah mengajarkan manusia melalui Al-Qalam yang biasanya diartikan sebagai pena. Sesungguhnya, ada banyak tafsir perihal bentuk dari Al-Qalam sehingga menunjukkan berbagai maksud. Ada yang menafsirkan bahwa Qalam adalah pena yang diciptakan Allah untuk mencatat segala kejadian atau takdir sebelum penciptaan. Ada juga yang memaknai Al-Qalam sebagai tulisan (hasil kerja dari pena).

Begitu umumnya makna dari Al-Qalam, kita dapat memaknainya sebagai pena takdir Allah dan bisa juga menganggapnya sebagai tulisan. Maka daripada itu, perlu melihat ayat berikutnya: Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Apakah pena takdir Allah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya? Bisa saja, namun tidak semua kejadian atau takdir dapat dipahami dengan baik oleh manusia. Belum lagi perihal macam takdir yang dapat diubah dan tak dapat diubah. Hal tersebut terlalu membingungkan dan njlimet untuk diuraikan pada orang awam.

Aku sendiri lebih nyaman dengan pemahaman bahwa maksud Al-Qalam pada konteks ini adalah tulisan. Menurut beberapa ulama, ada beberapa sarana untuk menyimpan ilmu: otak, hati, lisan, dan tulisan. Tulisan memiliki keistimewaan bagi manusia. Konon, nabi Idris A.S adalah orang pertama yang mengajarkan manusia baca tulis.  Tulisan memiliki sejarah panjang yang menunjukkan tingkat peradaban manusia karena dapat ditelusuri jejaknya. Ia berisi kalimat, kata, huruf, dan tanda. Proses menulis pun pada dasarnya melibatkan berbagai indera, termasuk otak dan hati. Melalui tulisan, Al-Qur’an dapat dibaca dan dihafalkan sehingga terjaga kemurniannya (karena ada bukti autentik: tulisan dan hafalan). Intinya, tulisan merupakan sarana mengikat ilmu. Sifat lupa adalah hal yang wajar bagi manusia sehingga butuh pengingat atau pengikat yang dapat dibaca ulang.

Sadar atau tidak sadar, lahirnya tulisan merupakan suatu bentuk kekuasaan Allah. Melalui tulisan, kita dapat membaca dan mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia. Ini adalah suatu bentuk nikmat dari Allah yang Maha Pemurah untuk mengenalkan dan mengajarkan kita melalui manusia-manusia yang menulis. Entah itu dari masa silam, saat ini, maupun yang akan datang. Kita menjadi mengenal orang-orang yang disebut dalam tulisan itu maupun karakter si penulis.

Ayat kelima surat Al-Alaq meneruskan ayat ketiga dan keempat. Selain itu, meneguhkan makna dari ayat kedua. Kata manusia pada ayat ini terdapat beberapa tafsir: Nabi Adam A.S, Nabi Muhammad SAW, dan manusia pada umumnya. Aku lebih condong dalam pemahaman manusia pada umumnya karena sejak lahir tidak memiliki kemampuan atau ilmu sehingga terangkatlah harkat kehormatan manusia karena ilmunya. Menariknya, surat ini tidak hanya memberitahu asal usul manusia, tetapi juga cara manusia memperoleh ilmu pengetahuan tentang dirinya dan segala hal yang diciptakan Allah. Maka daripada itu wajarlah bila kita harus berterima kasih kepada Allah pemilik ilmu dan juga orang-orang yang mengajarkan ilmu (pada konteks ini adalah si penulis buku).

Wallahu a’lam bish-shawabi
***
Aku memberitahukan bapak itu bahwa membaca saja tidak cukup kalau dilihat dari makna surat Al-Alaq ayat 1-5. Perlu analisis, diskusi, dan juga menulis lalu disebarkan. Oleh sebab itulah, para pencari ilmu membutuhkan mentor atau guru yang paham ilmu yang akan dipelajarinya. Ada banyak hadist terkait ini. Pada sisi lain juga perlu memperhatikan sesuatu di luar ilmu, yakni adab.

Bapak itu manggut-manggut dan memberikan beberapa pertanyaan. Aku menjawabnya sesuai pengetahuanku dan semampuku. Nampaknya, jawabanku cukup memuaskannya.

Di stasiun kami berpisah dan berjabat tangan.

Di stasiun aku tertegun cukup lama. Betapa Pemurahnya Allah memberikan ilmu kepada semua manusia dan mengikat ilmu pada manusia yang dikehendaki oleh-Nya. Secara tersirat bapak itu membenarkan cara-cara Islam, namun hidayah tak kunjung hadir padanya. Buru-buru aku ke mushola untuk sekadar sujud syukur. Aku takut pintu hidayah sewaktu-waktu tertutup dariku: mengakui kebenaran-Nya, tapi tak menjalankan perintah-Nya.

Pertemuan tersebut membuatku mempertimbangkan kembali untuk menutup blog ini.

1 comment:

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete