Ia menyelisik sesuatu yang
kupegang. Ada rasa segan untuk menggangguku. Bukan lantaran buku yang sedang
kupegang, melainkan benda yang melekat di telingaku. Benda itu sengaja kupakai
agar dapat fokus membaca meskipun tidak sedang mendengarkan musik. Namun,
gelagatnya yang ingin mengajak bicara malah mengganggu konsentrasiku.
Aku tersenyum padanya dan
melepas earphone di telingaku. “Pripun, pak? Ada yang bisa kubantu?”
“Buku apa yang dibaca?”
tanyanya. Bapak itu berusia sekitar lima puluh tahunan dengan uban yang telah
mulai tumbuh. Kulitnya putih khas etnis Tionghoa. Kuserahkan buku Interpretasi
dan over interpretasi karya Umberto Eco padanya. Kemudian, di atas kereta
sepanjang perjalanan menuju Yogyakarta kami membicarakan banyak hal. Dari
masalah ramah tamah hingga masalah yang sedang hangat. Tetapi, ada suatu
obrolan yang membuatku terkesan sekaligus membuatku tercenung saat sampai di
stasiun tujuan.
“Indonesia ini jumlah
muslimnya terbesar di dunia, tapi bodoh-bodoh.” Ia memulai pembicaraan yang
kontroversial.
Aku kaget dengan pernyataannya
itu. Lalu ia mejelaskan. “Perintah pertama mereka kan disuruh membaca. Temanku
yang islam jarang yang suka baca. Baca buku itu kan paling gampang dibanding
melihat kondisi sekitar. Itu aja malas, eh sok-sokan jadi pakar.”
Ternyata bapak itu paham
konteks membaca dalam surat tersebut. Ia mendapatkan pemahaman tersebut dari
temannya. Setelah itu ia jadi rajin membaca dan menyuruh anak-anaknya untuk
senang membaca. Baginya mungkin itu sudah cukup, namun bagiku belum.
Aku akan coba membedah ayat
yang dimaksud beliau, yakni surat Al-Alaq ayat 1-5. Aku menguraikan surat
tersebut dengan ringkas. Tentu saja ada versi panjangnya, tetapi tidak pada
tulisan ini. Semoga Allah memberikan kekuatan dan kesempatan untuk menuliskan
versi lengkapnya.
Sebenarnya, dari pembedahan
tersebut diriku memiliki rumus atau kiat dalam mempelajari ilmu dunia:
- Berdoa
- Membaca
- Menganalisis dan berdiskusi
- Menulis
- Berterima kasih kepada Allah dan penulis buku
- Mengamalkannya.
Ada dua kali perintah iqra’. Iqra’ yang pertama ingin menegaskan perbedaan membaca biasa dengan
membaca yang benar. Pada ayat pertama, ketika akan membaca harus menyebut nama
Allah yang telah menciptakan segala sesuatu. Kecelakaan membaca tanpa berdoa
atau menyebut nama Allah ialah kesalahan dalam menyimpulkan atau tidak
meresapnya ilmu dalam qalbu manusia. Ayat pertama ini mengukuhkan bahwa Allah
pemilik segala sesuatu. Dari sesuatu yang tiada menjadi ada, dan sebaliknya
yang mulanya ada menjadi tiada. Termasuk ilmu. Atas kehendak Allah, siapapun
dapat dicabut atau diambil lagi ilmu yang dimilikinya. Atau Allah ganti dengan
ilmu yang lain. Hal ini tergantung dari tingkat konsistensi pemegang ilmu,
salah satunya adalah mengajarkannya kembali dan mengamalkannya. Ada hadist yang
membahas lengkap perihal ini.
Ayat kedua pada surat Al-Alaq
hendak mengingatkan asal-usul kita. Perihal ini aku teringat kisah salah
seorang sahabat, Abu Bakar jika tidak salah ingat. Sahabat Rasulullah tersebut
kerap mengingatkan orang sombong dan angkuh dengan istilah ini. Diriwayat lain
ada juga yang mengingatkan orang sombong atau angkuh dengan istilah “air mani”.
Aku belum mengecek kembali terkait hal ini.
Posisi manusia yang berasal
dari segumpal darah memberikan suatu pemahaman bahwa kita dulunya bukanlah
apa-apa. Apakah orang tua kita pernah mengajarkan cara merangkak, menangis,
tertawa, berdiri? Lantas, siapakah yang mengajarkan itu semua jika bukan Allah?
Insting? Siapa yang menaruh insting pada diri kita sejak lahir kalau bukan
Allah? Istilah insting adalah pemberian yang melekat pada manusia karena
berangkat dari kebingungan manusia untuk menjelaskan hal-hal yang tanpa perlu
dipelajari sejak lahir.
Ayat ketiga terdapat perintah
“bacalah” lagi. Perintah ini berbeda dengan perintah “bacalah” yang pertama,
tetapi memiliki maksud mengukuhkan. Iqra’
yang pertama aku menakwilkannya dengan kata terakhir, khalaqa, saat diriku benar-benar kosong, nihil, hina, dan bodoh.
Tak memiliki apapun, hingga Allah menghadirkan pengetahuan dan pemahaman atas
sesuatu dari yang kubaca. Pengetahuan dan pemahaman tersebut semakin bertambah
setelah melalui proses analisis dan diskusi.
Iqra’ kedua
berkaitan dengan kata Al-Akram, sifat
Allah yang Maha Pemurah. Dapat pula kata tersebut dimaknai memberikan sesuatu
yang pantas, tanpa pamrih, mulia, dan bernilai tinggi. Sifat inilah yang perlu
diresapi. Segala sesuatu yang kita peroleh dari Allah melalui membaca tak boleh
berhenti pada diri sendiri. Harus disebarkan dan diajarkan pada orang yang
belum mengetahui, namun dengan memerhatikan makna dari kata Al-Akram. Hal ini memiliki maksud untuk
melihat kondisi serta kepantasan atau kelayakan dari si penerima ilmu. Ilmu
yang kuajarkan dan berikan cukup Allah yang membalas dengan cara-Nya sendiri.
Jikalau hal tersebut dirasa sulit maka perlu dilatih.
Ayat keempat memiliki
keterkaitan dengan ayat sebelumnya. Secara garis besar salah satu sifat pemurah
Allah ialah mengajarkan manusia melalui Al-Qalam
yang biasanya diartikan sebagai pena.
Sesungguhnya, ada banyak tafsir perihal bentuk dari Al-Qalam sehingga menunjukkan berbagai maksud. Ada yang menafsirkan
bahwa Qalam adalah pena yang diciptakan Allah untuk mencatat segala kejadian
atau takdir sebelum penciptaan. Ada juga yang memaknai Al-Qalam sebagai tulisan (hasil kerja dari pena).
Begitu umumnya makna dari Al-Qalam, kita dapat memaknainya sebagai
pena takdir Allah dan bisa juga menganggapnya sebagai tulisan. Maka daripada
itu, perlu melihat ayat berikutnya: Dia
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Apakah pena takdir Allah
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya? Bisa saja, namun tidak semua
kejadian atau takdir dapat dipahami dengan baik oleh manusia. Belum lagi
perihal macam takdir yang dapat diubah dan tak dapat diubah. Hal tersebut
terlalu membingungkan dan njlimet
untuk diuraikan pada orang awam.
Aku sendiri lebih nyaman
dengan pemahaman bahwa maksud Al-Qalam
pada konteks ini adalah tulisan. Menurut beberapa ulama, ada beberapa sarana
untuk menyimpan ilmu: otak, hati, lisan, dan tulisan. Tulisan memiliki
keistimewaan bagi manusia. Konon, nabi Idris A.S adalah orang pertama yang
mengajarkan manusia baca tulis. Tulisan
memiliki sejarah panjang yang menunjukkan tingkat peradaban manusia karena
dapat ditelusuri jejaknya. Ia berisi kalimat, kata, huruf, dan tanda. Proses
menulis pun pada dasarnya melibatkan berbagai indera, termasuk otak dan hati. Melalui
tulisan, Al-Qur’an dapat dibaca dan dihafalkan sehingga terjaga kemurniannya
(karena ada bukti autentik: tulisan dan hafalan). Intinya, tulisan merupakan
sarana mengikat ilmu. Sifat lupa adalah hal yang wajar bagi manusia sehingga
butuh pengingat atau pengikat yang dapat dibaca ulang.
Sadar atau tidak sadar,
lahirnya tulisan merupakan suatu bentuk kekuasaan Allah. Melalui tulisan, kita
dapat membaca dan mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran
manusia. Ini adalah suatu bentuk nikmat dari Allah yang Maha Pemurah untuk
mengenalkan dan mengajarkan kita melalui manusia-manusia yang menulis. Entah
itu dari masa silam, saat ini, maupun yang akan datang. Kita menjadi mengenal
orang-orang yang disebut dalam tulisan itu maupun karakter si penulis.
Ayat kelima surat Al-Alaq meneruskan ayat ketiga dan
keempat. Selain itu, meneguhkan makna dari ayat kedua. Kata manusia pada ayat
ini terdapat beberapa tafsir: Nabi Adam A.S, Nabi Muhammad SAW, dan manusia
pada umumnya. Aku lebih condong dalam pemahaman manusia pada umumnya karena
sejak lahir tidak memiliki kemampuan atau ilmu sehingga terangkatlah harkat
kehormatan manusia karena ilmunya. Menariknya, surat ini tidak hanya
memberitahu asal usul manusia, tetapi juga cara manusia memperoleh ilmu
pengetahuan tentang dirinya dan segala hal yang diciptakan Allah. Maka daripada
itu wajarlah bila kita harus berterima kasih kepada Allah pemilik ilmu dan juga
orang-orang yang mengajarkan ilmu (pada konteks ini adalah si penulis buku).
Wallahu
a’lam bish-shawabi
***
Aku memberitahukan bapak itu
bahwa membaca saja tidak cukup kalau dilihat dari makna surat Al-Alaq ayat 1-5. Perlu analisis,
diskusi, dan juga menulis lalu disebarkan. Oleh sebab itulah, para pencari ilmu
membutuhkan mentor atau guru yang paham ilmu yang akan dipelajarinya. Ada
banyak hadist terkait ini. Pada sisi lain juga perlu memperhatikan sesuatu di
luar ilmu, yakni adab.
Bapak itu manggut-manggut dan
memberikan beberapa pertanyaan. Aku menjawabnya sesuai pengetahuanku dan
semampuku. Nampaknya, jawabanku cukup memuaskannya.
Di stasiun kami berpisah dan
berjabat tangan.
Di stasiun aku tertegun cukup
lama. Betapa Pemurahnya Allah memberikan ilmu kepada semua manusia dan mengikat
ilmu pada manusia yang dikehendaki oleh-Nya. Secara tersirat bapak itu
membenarkan cara-cara Islam, namun hidayah tak kunjung hadir padanya. Buru-buru
aku ke mushola untuk sekadar sujud syukur. Aku takut pintu hidayah
sewaktu-waktu tertutup dariku: mengakui kebenaran-Nya, tapi tak menjalankan
perintah-Nya.
Pertemuan tersebut membuatku
mempertimbangkan kembali untuk menutup blog ini.
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
ReplyDeleteDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny