Aku dibuat
bingung oleh laptop maupun jaringan internet lantaran berbagai upaya untuk mengunduh
film selalu gagal. Keduanya nampak baik-baik saja. Normal tanpa ada masalah,
lantas mengapa selalu gagal? Hal tersebut terjadi dalam beberapa hari.
Demi
menghilangkan kejengkelan, mau tidak mau, suka tidak suka kusentuh koran.
Berharap ada yang menghibur. Ternyata tidak ada artikel yang mampu menyembuhkan
kebosananku. Barangkali karena koran hampir mirip dengan jurnal dari segi
tulisannya yang objektif. Akhir-akhir ini memang diriku terlalu tenggelam dalam
tulisan-tulisan jurnal. Sesekali beralih pada opini dan esai untuk ganti
suasana, namun masih saja tidak ada yang menghibur.
Gerutu dan
kebawelan menjadi suara yang memecah keheningan tatkala kubaca opini dan esai
di gubuk dekat kantin. Berkali-kali diriku dibuat kecewa oleh strategi penulis
dalam membangun narasi dan argumentasi. Aku merasa menjadi kritikus yang agung
nan jeli untuk tiap kalimat dan paragraf. Padahal biasanya satu atau dua
paragraf pembuka saya akan menutup tulisan tersebut, entah karena bosan, jelek,
atau mudah ditebak.
Fase-fase
kejemuan seperti ini, aku menetapkan opini dan esai yang mampu menghiburku. Pertama,
kebaruan atau novelty. Oleh karena
tingkat kesulitan itulah, yang membuatku dapat terhibur. Opini dan esai yang
memiliki kebaruan selalu menawarkan nuansa, rasa, cara pandang, gagasan, atau
solusi baru. Kebaruan itulah yang menjadi jaminan bahwa karyanya orisinal. Tidak
sedikit penulis yang menyadari hal ini malah kerap jatuh karena membebani teks dengan
pertanyaan-pertanyaan retorik dan metofora.
Penulis yang
bermain aman dia akan membuat suatu pertanyaan remeh atau kecil dibandingkan
bermuluk-muluk mengawali dengan narasi-narasi besar. Mereka hanya membutuhkan
koherensi dan konsistensi. Selanjutnya akan lebih mudah. Biasanya, penulis akan
menambahkan pendekatan sejarah, atau menambahkan draft dengan
pertanyaan-pertanyaan besar meski mengawalinya dengan pertanyaan remeh. Selain itu,
bisa juga dengan memperkaya kedalaman analisis atau argumentasi dengan cara
perbandingan atau pendekatan dari ilmu lain.
Kedua, non obviousness. Sulit menerjemahkannya
dalam bahasa indonesia karena artinya tidak jelas atau tidak mudah, atau ora umum. Saya tidak menggunakan terminologi
anti mainstream karena setiap orang
dapat meniru sesuatu yang anti mainstream.
Non obviousness ingin menekankan
bahwa tidak semua orang bisa mencapai gagasan atau cara yang penulis lakukan. Atau
lebih radikal lagi, si penulis ingin menunjukkan bahwa hanya dirinyalah yang mampu
mengeluarkan gagasan atau ide seperti itu.
Berdasarkan kedua
kriteria tersebut, diriku belum merasa terpuaskan dengan opini dan esai yang
kubaca. Dalam batinku terus menerus berkata, “jika tidak ada seharusnya kamu.” Aku
mengabaikan suara itu dan mencoba kembali mengunduh film. Tetap gagal hingga
aku menyadari sesuatu: kapasitas google drive ku telah penuh. Serta merta kuhapus
semua file yang ada di dalamnya. Aku hanya ingin istirahat dan menonton film.