Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Jun 23, 2019

Catatan Si Pemalas #16




Berkah Ramadhan. Bulan puasa tahun ini begitu luar biasa. Ada dua hal yang mungkin terdengar sepele, tetapi bagi diriku sangat penting.

Pertama. Inilah bulan yang menegaskan diriku masih memiliki getar hati. Konflik dan kerusuhan menjelang penghujung bulan Mei memberikan gambaran bahwa saya perlu bersyukur. Bersyukur atas hati yang telah Allah berikan masih berfungsi dengan baik. Sejauh dan sedalam apa pun perbedaan pandangan politik kita bukan lantas membenarkan segala bentuk kekerasan yang diterima kedua kubu. Hatiku masih bisa ikut merasakan perih dan sakit saat melihat orang dilempari batu, lalu dibalas pukulan, tendangan, injakan hingga jatuh korban dari kedua belah pihak. Baik yang telah terdata maupun tak ikut masuk statistik.

Batinku merasa terusik kala muncul banyak komentar cupet di medsos yang memaki dan menyalahkan korban. Betapa pun perbedaan pandangan politik tak menyurutkan getar hati itu. Umpama itu adalah adik, kakak, saudara yang digebuki, dilempari karena berbeda pandangan politik dengan kita, apakah kita layak berkomentar negatif padanya hanya karena perihal politik? Toh, perbedaan politik tak memengaruhi seseorang masuk surga atau neraka. Sebagai contoh, kita dapat melihat perbedaan pandangan dan cara Abu Bakar dan Umar dalam memimpin. Keduanya tetap dijamin masuk surga.

Jatuhnya korban tidak direspon dengan semestinya, alih-alih lebih meratapi fasilitas publik yang rusak. Sepengetahuanku, kematian seseorang yang terbunuh bukan karena alasan yang haq, sama dengan kematian seluruh umat manusia. Hal ini bukan berarti kematian dalam arti fisik melainkan kematian sifat-sifat yang melekat dalam martabat manusia. Pemahaman rasa semacam ini tak mungkin diperoleh dengan hasil membaca komik atau menonton sinetron. Saya tak tahu pasti rahmat Allah tersebut merasuk melalui mana. Tanpa sadar air mata menetes dan dengan suara lirih muncul kalimat, “saya masih manusia.”

Berkah ramadhan kedua adalah sesuatu yang spesial, mengharukan, dan menguras emosi meskipun ekspresiku mungkin datar-datar saja kala itu. Teriakan dan tangisan itu melebihi Polonaise No. 6 Op. 53 Chopin. Aku mulai memahami suatu ayat yang menyebut “anak adalah perhiasan dunia”.

Pada sedekah laut yang hampir membuatku mati tenggelam, tak pernah terbersit akan memiliki anak yang bisa kugendong, kugoda, dan kuajak bercanda. Barangkali karena pengalaman-pengalaman yang membuatku hampir modiar berkali-kali yang kemudian membuatku tak terlalu banyak bermimpi muluk-muluk.

Inilah tanggung jawab baru yang mesti kuemban seumur hidup. Kewajiban pertama seorang ayah adalah memberi nama. Ada banyak ribuan nama yang melayang dalam benakku. Padahal anakku hanya satu. Perihal nama ini sangat penting karena pada dasarnya nama adalah doa. Jadi, tak masalah juga saya berpanjang-panjang dengan doa. Tapi, nama yang panjang seperti tak lazim dalam masyarakat. Katanya, hanya bangsawan yang menyandang nama yang panjang. Terkadang, ingin rasanya menimpali: “apa ya perlu tak kasih silsilahku ben ora kakean kecangkeman?” Tetapi, hal tersebut urung karena tidak membawa faedah sedikit pun.

Nama juga penting karena bisa jadi itulah yang melekat pada dirinya seumur hidup. Sesuatu yang mungkin pertama kali ia kagumi atau cintai adalah nama. Pada sisi lain, saya pun akan memberikan kebebasan pada dirinya untuk mengubah itu bila kelak merasa kurang sreg, tentunya dengan catatan nama barunya itu memiliki makna dan doa yang bagus pula.


Hingga kini saya pun masih dibuat heran saat melihat rupa dan tingkah polah si bocil, sambil mbatin “cuuuur.... anakku!”

No comments:

Post a Comment