Berkah Ramadhan. Bulan puasa
tahun ini begitu luar biasa. Ada dua hal yang mungkin terdengar sepele, tetapi
bagi diriku sangat penting.
Pertama.
Inilah bulan yang menegaskan diriku masih memiliki getar hati. Konflik dan
kerusuhan menjelang penghujung bulan Mei memberikan gambaran bahwa saya perlu
bersyukur. Bersyukur atas hati yang telah Allah berikan masih berfungsi dengan
baik. Sejauh dan sedalam apa pun perbedaan pandangan politik kita bukan lantas
membenarkan segala bentuk kekerasan yang diterima kedua kubu. Hatiku masih bisa
ikut merasakan perih dan sakit saat melihat orang dilempari batu, lalu dibalas
pukulan, tendangan, injakan hingga jatuh korban dari kedua belah pihak. Baik
yang telah terdata maupun tak ikut masuk statistik.
Batinku merasa terusik kala
muncul banyak komentar cupet di medsos yang memaki dan menyalahkan korban. Betapa
pun perbedaan pandangan politik tak menyurutkan getar hati itu. Umpama itu
adalah adik, kakak, saudara yang digebuki, dilempari karena berbeda pandangan
politik dengan kita, apakah kita layak berkomentar negatif padanya hanya karena
perihal politik? Toh, perbedaan politik tak memengaruhi seseorang masuk surga atau
neraka. Sebagai contoh, kita dapat melihat perbedaan pandangan dan cara Abu
Bakar dan Umar dalam memimpin. Keduanya tetap dijamin masuk surga.
Jatuhnya korban tidak direspon
dengan semestinya, alih-alih lebih meratapi fasilitas publik yang rusak. Sepengetahuanku,
kematian seseorang yang terbunuh bukan karena alasan yang haq, sama dengan
kematian seluruh umat manusia. Hal ini bukan berarti kematian dalam arti fisik
melainkan kematian sifat-sifat yang melekat dalam martabat manusia. Pemahaman
rasa semacam ini tak mungkin diperoleh dengan hasil membaca komik atau menonton
sinetron. Saya tak tahu pasti rahmat Allah tersebut merasuk melalui mana. Tanpa
sadar air mata menetes dan dengan suara lirih muncul kalimat, “saya masih
manusia.”
Berkah ramadhan kedua adalah
sesuatu yang spesial, mengharukan, dan menguras emosi meskipun ekspresiku
mungkin datar-datar saja kala itu. Teriakan dan tangisan itu melebihi Polonaise
No. 6 Op. 53 Chopin. Aku mulai memahami suatu ayat yang menyebut “anak adalah
perhiasan dunia”.
Pada sedekah laut yang hampir
membuatku mati tenggelam, tak pernah terbersit akan memiliki anak yang bisa
kugendong, kugoda, dan kuajak bercanda. Barangkali karena pengalaman-pengalaman
yang membuatku hampir modiar berkali-kali yang kemudian membuatku tak terlalu
banyak bermimpi muluk-muluk.
Inilah tanggung jawab baru
yang mesti kuemban seumur hidup. Kewajiban pertama seorang ayah adalah memberi
nama. Ada banyak ribuan nama yang melayang dalam benakku. Padahal anakku hanya
satu. Perihal nama ini sangat penting karena pada dasarnya nama adalah doa.
Jadi, tak masalah juga saya berpanjang-panjang dengan doa. Tapi, nama yang
panjang seperti tak lazim dalam masyarakat. Katanya, hanya bangsawan yang
menyandang nama yang panjang. Terkadang, ingin rasanya menimpali: “apa ya perlu
tak kasih silsilahku ben ora kakean kecangkeman?” Tetapi, hal tersebut urung
karena tidak membawa faedah sedikit pun.
Nama juga penting karena bisa
jadi itulah yang melekat pada dirinya seumur hidup. Sesuatu yang mungkin pertama
kali ia kagumi atau cintai adalah nama. Pada sisi lain, saya pun akan
memberikan kebebasan pada dirinya untuk mengubah itu bila kelak merasa kurang
sreg, tentunya dengan catatan nama barunya itu memiliki makna dan doa yang
bagus pula.
Hingga kini saya pun masih
dibuat heran saat melihat rupa dan tingkah polah si bocil, sambil mbatin “cuuuur....
anakku!”
No comments:
Post a Comment