Life can only be understood looking backward. It must be lived forward.- Eric Roth, The Curious Case of Benjamin Button Screenplay
Aku menjamah Pedro Paramo berulang kali. Akhir-akhir ini lebih sering dengan
membandingkan terjemahan yang berbeda (Gambang dan Gramedia). Bolak-balik
menuju lorong masa kini dan silam di kota Comala. Kurasakan gegar riuh dan
sunyi dalam deretan kata Rulfo. Hal itu tak lantas memberikanku sebuah
kesimpulan bahwa hidup ialah seperiuk
tai. Jangan dengarkan gerutuan Kilgore Trout, kakek uzur yang mengalami
‘gegar’ karena gempa waktu.
Vonnegut menjelma menjadi lebih
cerewet dari biasanya. Mohon mahfum namanya juga kakek-kakek, nenek-nenek pun
demikian. Meskipun mereka menyebar hoax atau haus perhatian, biarkanlah namanya
juga kakek-nenek. Adakalanya mereka sudah makan sepiring nasi tapi merasa belum
makan sama sekali. Janganlah kita ikut-ikutan membully walau mereka bullyable. Tentu saja merepotkan.
Anggaplah menahan diri sebagai latihan menjadi lelaki atau anak/kawula muda
yang berbakti.
Bicara merepotkan, aku ingin
membawamu pada sejarah dalam definisi Carr, dialog
tanpa akhir antara masa kini dan masa lalu. Belakangan ini ada sebuah
kerepotan yang membayangiku. Terlepas dari repotnya kakek-nenek yang merepotkan
itu, aku bertanya-tanya, sejauh mana dulu
aku merepotkan. Ketika belum lahir
pun kita kerap merepotkan orang tua. Cobalah bayangkan dirimu mendekam di rahim
sedangkan orangtuamu berkeliling mencari lele penyet pada pagi hari saat
anak-anak sekolah di Surabaya (yang luas). Atau pagi buta mencari warung rawon
yang masih buka. Merepotkan? Tidak, justru menyenangkan dan lucu meski saat
mencarinya jelas-jelas mengerutu. Pemahaman ini setelah ada jeda dan jarak.
Jeda dan jarak itulah yang
membuatku terpingkal-pingkal tatkala membaca tulisan-tulisanku bertahun lampau.
Aku tak mampu menemukan betapa merepotkannya diriku saat masih dalam kandungan.
Selain ayahku yang irit bicara, aku tak begitu dekat dengan ibu (karena jarang
berjumpa). Jadi, tulisan-tulisan itulah yang merepresentasikan betapa merepotkannya diriku. Tulisan-tulisan
hasil belajar yang oleh para mentor dibuang, disobek, dihujat, dibanting,
diinjak, dan diamini.
Dulu tiada tebersit kegiatan yang
menjemukan itu menghasilkan uang atau sekumpulan karya. Lha wong aku sinau nulis biar skripsiku lancar. Memang dangkal
banget. Mungkin sedikit berbeda dengan orang-orang yang berniat belajar menulis
untuk menembus media, menghasilkan maha karya atau alih-alih menjadi abadi. Bagiku
itu hanyalah bonus sebab ora kepikiran
blas.
Ketika kian jamak pelatihan
menulis tentu saja hal tersebut membuatku semakin merinding. Mereka berharap
banyak setelah mengikuti pelatihan menjadikan tulisan mereka semakin bagus
secara tiba-tiba. Kerap kutemui muda-mudi dengan semangat menggebu yang
kemudian menjadi lesu ketika mereka dijatuhkan. Padahal menulis merupakan
proses berulang penghancuran dan pembentukan. Hanya orang keras kepala yang mau
dan belajar berbenah dari proses ini.
Aku tak mampu membayangkan betapa
repotnya para mentorku. Barangkali mereka pusing atau bahkan hendak muntah saat
membacanya. Pasti akan mengejutkan mendengar komentar-komentar mereka.
Sayangnya, diriku belum sempat menanyakannya.
Sejauh apapun diriku membayangkan
betapa merepotkannya pada masa silam, hidup memang selalu ke depan dan harus
dijalani. Aih, benar memang jika
sejarah nampak seperti pelacur yang bersahaja. Tapi, ...
Though
wise men at their end know dark is right,
Because
their words had forked no lightning they
Do not
go gentle into that good night.
Dylan Thomas