Judul : Petualangan Don Quixote
Penulis : Miguel De Cervantes
Penerjemah : Muajib
Penyunting : Fahrudin Nasrulloh AM
Penerbit : Immortal Publisher
Cetakan : I, Agustus 2017
Tebal : 124 halaman
Don Quixote. Nama yang
tak asing, tetapi banyak orang tak begitu mengenalnya dengan baik. Bagi pembaca
Indonesia yang kesulitan berbahasa asing hanya mengenalnya sekilas, entah dalam
bentuk buku dongeng anak, berbentuk puisi maupun sempalan kata di dalam jurnal
atau buku. Banyak diperbincangkan, namun terkesan diremehkan karena belum ada
buku yang menampilkannya secara utuh dalam bahasa Indonesia.
Siapa juga yang hendak
bersusah payah menghadirkan seorang pria paruh baya yang membuat kekacauan
karena gagasan, mimpi, dan imajinasinya? Benar, pria paruh baya itulah Don
Quixote. Ia berimajinasi melakukan petualangan dengan menjadi kesatria yang melawan
penyihir, prajurit dan raksasa. Layaknya seorang kesatria yang kesepian, Ia
mendambakan seorang perempuan bernama Dulcinea del Toboso sehingga setiap orang
yang ditemuinya harus mau mengakui kecantikan sang putri. Petualangan yang
dilakukan Don Quixote tak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga orang
lain. Kekacauan demi kekacauan terjadi karena Don Quixote memaksakan imajinasi
dan gagasa-gagasan liarnya ke dalam dunia nyata yang tak mampu dipahami oleh
orang-orang yang ditemuinya.
Don Quixote bagi pembacanya merupakan buku
yang kaya akan makna dan simbol. Layaknya satire yang hadir dalam nuansa
gempuran karya sastra romansa dan kepahlawanan kala itu. Tak mengherankan bila
karya ini dianggap sebagai pendobrak corak baru sastra dunia. Kegilaan terhadap
kisah-kisah satria di medan perang, putri cantik yang luhur pekerti, dan kisah
imajinatif lainnya yang dihadapkan pada realitas yang bertolak belakang.
Kepopuleran Don Quixote dapat
dikaitkan dalam berbagai permasalahan kekinian. Misalnya, politik. Don Quixote
tak lagi menunggang kuda, melainkan mobil. Ia mendapatkan legitimasi menjadi
kesatria yang terhormat setelah memberikan kegelisahan dan ketakutan yang tak
disadarinya. Mereka berpetualang hingga melawan petugas yang membawa pelaku
kejahatan, bahkan melawan para raksasa yang sebenarnya tiang listrik.
Selain itu, Don Quixote yang jomblo
nan kesepian juga dapat ditemui dalam komunitas role play. Manusia-manusia yang
saling bertukar peran dan terkadang pasangan yang belum pernah mereka temui. Imaji,
imitasi, dan realitas luruh. Seperti halnya Don Quixote yang terjebak di dalam
jagad hiperrealitas. Realitas menghilang karena longsoran simulasi.
Tak
lupa Don Quixote juga punya pengikut seperti Sancho Panza. Pelayan setia yang
terbuai janji-janji Don Quixote untuk memberikan sebuah pulau dan kekayaan. Meskipun
begitu, pada lain kesempatan sang pelayan mengatakan bahwa tuannya gila. Barangkali
kita juga sering menemui manusia seperti Sancho Panza yang realistis sekaligus
terjebak dalam buaian mimpi.
Membaca
Don Quixote tanpa membahas perihal kegilaan nampaknya kurang lengkap. Tema
kegilaan menjadi pertanyaan yang terus muncul selama membaca karya Cervantes
ini. “Apakah Don Quixote gila? Ataukah orang-orang yang ia temui yang justru
gila?” Cervantes membiarkan kita untuk membuat suatu kesimpulan sendiri tanpa
memberikan jawaban yang lugas. Bahkan seluruh penghuni penginapan mendukung Don
Quixote saat seorang Barbar meminta baskom miliknya dipergunakan Don Quixote
sebagai pelindung kepala. Apakah kegilaan dapat menular? Entahlah, mungkin
Michel Foucault dapat menjawabnya.
***
Sejujurnya
hal pertama yang menarik dari buku berjudul “Petualangan Don Quixote” ini
adalah sampul yang menarik karena kesederhanaan dan warnanya. Selain itu,
harganya murah dan ketebalan buku yang tipis. Saya curiga dengan buku ini
merupakan retold atau resume dari
karya Cervantes yang tebal itu. Sangat tipis dibandingkan halaman buku Don
Quixote dalam versi bahasa lain yang pernah saya baca (Penerjemah Tom Lathrop;
Penguin, 2011). Sayangnya, penerbit tidak memberikan informasi tentang buku
asal terjemahan karena Don Quixote telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa
dengan banyak versi. Saya tetap percaya bahwa tiap penerjemah memiliki rasa
yang berbeda dalam menerjemahkan sehingga ada hal-hal yang kadang tak mampu kita
tangkap saat membaca dalam versi bahasa lain. Ada beberapa bagian yang dalam
versi lain terasa kocak dan satire kemudian menjadi biasa saja dalam buku
tersebut. Sebaliknya, bagian tertentu yang biasa saja justru dalam buku ini
membuatku terpingkal-pingkal, terutama saat pertarungan dengan pendeta.
Bagaimanapun,
kehadiran Petualangan Don Quixote perlu diapresiasi. Meskipun hadir dalam
bentuk sederhana dan terdapat kesalahan pengetikan. Petualangan Don Quixote
mempergunakan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti sehingga sangat cocok
sebagai pengantar tidur anak-anak. Semoga saja buku ini menjadi pemacu untuk
menyajikan terjemahan Indonesia dalam bentuk utuh.