Tubuh
ini menggigil sekaligus gemas acap kali membaca berita ataupun menonton berita
akhir-akhir ini. Tiada bahasan lain selain permasalahan politik. Ditambah
sosial media yang kian mengakar memberikan kabar, gambar, dan pesan yang
emosionil. La decima, kegagalan tim
Thomas & Uber hanya bertahan beberapa hari saja dan kalah telak dengan
manuver-manuver politik pra pilpres. Kepemilikan media massa membuat elemen
jurnalisme terlihat tidak relevan dalam memenuhi hasrat masyarakat. Situasi ini
disebabkan karena politik menjadi perbincangan yang menarik tiap elemen
masyarakat mulai dari kafe kelas atas sampai warung kopi pinggir jalan.
Sudah
puluhan tahun yang lalu Chomsky mengkritik kuasa media massa karena peran
propaganda dan keberpihakan pada politik. Muncullah apa yang dikatakan Chomsky
bahwa berita adalah olahan fakta dari dapur redaksi. Kondisi makin semrawut
dengan munculnya web 2.0 dan “adik-adiknya”. Tim cyber dikerahkan untuk
menyerang, bertahan dan menyerang balik isu maupun wacana yang dilempar. Baik
dengan kecaman atau bahkan melalui humor. Ini lebih dahsyat dari penggambaran ‘World is Flat’nya Thomas L. Friedman
dimana persaingan tidak hanya melibatkan individu dalam dunia maya, melainkan
sudah masif dan sistematis. Potensi konflik dari dunia maya ke nyata makin
besar.
Berita
maupun opini yang muncul berasal dari ideologi tiap pihak. Perdebatan Chomsky
dan Zizek perihal ideologi menarik untuk disimak serta dikaji. Slavoj Zizek
menegaskan pentingnya kritik atas ideologi sedangkan Chomsky mengutarakan kritik
ideologi tidak penting karena kebenaran lah yang penting. Saya tidak ingin
terjebak dalam perdebatan tersebut karena ini adalah wajar dalam ranah
akademis, namun nampaknya masyarakat telah diarahkan pada wacana perdebatan
seperti itu.
Paralaks Wacana
Ideologi & Kebenaran
Titik rawan wacana adalah
simulasi konflik. Wacana lebih menggema jikalau terdapat konflik konkret yang
diolah untuk menciptakan efek psikologis. Pada pilpres kali ini kedua kubu
saling serang dalam kedua hal ini. Kita bahas yang pertama terlebih dahulu,
Ideologi. Berangkat dari terminologi Lacanian, Zizek membagi ideologi menjadi
tiga mode yaitu doktrin (doctrine),
keyakinan (belief), ritual (ritual). Dua kejadian yang sebenarnya
tidak menggambarkan pertarungan ideologi membuat berita yang dibaca atau
ditonton mengarahkan pada kedua hal tersebut. Kita bisa melihat bagaimana
pemberitaan parpol agama tertentu dan wacana pemurnian menggiring terhadap
fobia pada ideologi tertentu. Kita juga dapat melihat pemberitaan suatu
kebijakan tertentu yang diolah sedemikian rupa mengarah terhadap ideologi pasar
tertentu. Agama dan pasar menjadi simbol yang laris dalam propaganda sebuah
kampanye. Pemberitaan penyerangan jamaah akan menyeret pemikiran publik untuk
berpikir bahwa ini adalah perbuatan si X dan gerakan macam si X didukung oleh
calon Y. Demikian pula tatkala sebuah berita memberikan gambaran kebijakan si A
yang mendorong orang untuk berpikir bahwa kebijakan tersebut adalah ideologi Z
yang bertentangan dengan keinginan bangsa.
Tatkala
Karl Marx dan Nietzsche dihujat oleh bangsa ini, namun pada sisi tertentu
bangsa ini sepakat terhadap apa yang dikritik oleh keduanya, agama dan
kapitalisme. Marx dan Nietzche bukan mengkritik agama dan yang dipraktekkan di
Indonesia melainkan kritik terhadap agama dan pemeluknya yang ada di Eropa pada
saat itu. Pada fase ini terdapat perbedaan kosmologi yang tak dapat
digeneralisasi begitu saja. Masih banyak hal-hal baik di Indonesia yang tidak
terdapat dalam sistem yang berkembang pada kehidupan kedua orang tersebut.
Kebenaran
dalam benak media massa dan juga status sosmed orang yang saya lihat adalah
kebenaran subjektif dimana sudah ada penghilangan fakta tanpa melihat secara
komprehensif. Tak ayal berbagai respon bertentangan muncul. Suatu kebenaran
(yang telah diolah) menggelinding seperti bola salju yang kian membesar dan
siap menghantam siapa saja. Media massa maupun media sosial bagi Zizek
merupakan ruang penalaran publik yang di dalamnya perlu suatu kritik ideologi,
sedangkan Chomsky yang memandang segala sesuatu sudah jelas hanya memerlukan
pengungkapan kebenaran. Nah, perdebatan permasalahan ini menyisakan sebuah
lubang yakni sejauh mana kemampuan pembaca atau orang dalam mengolah informasi
yang ia tangkap.
Cooling Down
Pada kekacauan informasi karena
terdapat kabut yang menyamarkan kebenaran dan informasi timbul keegoisan
masing-masing. Rasionalitas tentunya tidak dapat diandalkan pada posisi seperti
ini. Ada trauma, dendam, kegelisahan, ketakpercayaan, kekhawatiran yang
menyelimuti rasionalitasnya. Hati? Manusia sebagai makhluk yang berlumur dosa
tidak tahu apakah hati dan pikirannya benar-benar bersih. Tidak ada yang berani
menjaminnya.
Kejadian-kejadian
beberapa minggu terakhir justru menjadi kesempatan bagi pihak ketiga untuk
memperkeruh suasana. Kita musti berkaca pada tragedi di luar negeri pada
beberapa negara yang kian memanas. Pada konteks yang lebih luas kita juga perlu
memerhatikan agenda zionis terhadap negeri ini (lihat artikel agenda zionis). Maka
daripada itu kita menenangkan pikiran dan hati sejenak.
Fase
genting seperti saat ini kita juga sering lupa untuk memohon petunjuk pada Yang
Maha Kuasa. Inilah yang saya sebut kita terlalu egois dan sombong hanya
mengandalkan pikiran dan hati kita dengan melupakan sang pencipta. Setidaknya bagi
yang Islam dapat melaksanakan sholat Istikharah sedangkan yang lain dapat
melakukan sesuai dengan agamanya.
No comments:
Post a Comment