Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Jun 2, 2014

COOLING DOWN, MAS BRO!


            Tubuh ini menggigil sekaligus gemas acap kali membaca berita ataupun menonton berita akhir-akhir ini. Tiada bahasan lain selain permasalahan politik. Ditambah sosial media yang kian mengakar memberikan kabar, gambar, dan pesan yang emosionil. La decima, kegagalan tim Thomas & Uber hanya bertahan beberapa hari saja dan kalah telak dengan manuver-manuver politik pra pilpres. Kepemilikan media massa membuat elemen jurnalisme terlihat tidak relevan dalam memenuhi hasrat masyarakat. Situasi ini disebabkan karena politik menjadi perbincangan yang menarik tiap elemen masyarakat mulai dari kafe kelas atas sampai warung kopi pinggir jalan.
            Sudah puluhan tahun yang lalu Chomsky mengkritik kuasa media massa karena peran propaganda dan keberpihakan pada politik. Muncullah apa yang dikatakan Chomsky bahwa berita adalah olahan fakta dari dapur redaksi. Kondisi makin semrawut dengan munculnya web 2.0 dan “adik-adiknya”. Tim cyber dikerahkan untuk menyerang, bertahan dan menyerang balik isu maupun wacana yang dilempar. Baik dengan kecaman atau bahkan melalui humor. Ini lebih dahsyat dari penggambaran ‘World is Flat’nya Thomas L. Friedman dimana persaingan tidak hanya melibatkan individu dalam dunia maya, melainkan sudah masif dan sistematis. Potensi konflik dari dunia maya ke nyata makin besar.
            Berita maupun opini yang muncul berasal dari ideologi tiap pihak. Perdebatan Chomsky dan Zizek perihal ideologi menarik untuk disimak serta dikaji. Slavoj Zizek menegaskan pentingnya kritik atas ideologi sedangkan Chomsky mengutarakan kritik ideologi tidak penting karena kebenaran lah yang penting. Saya tidak ingin terjebak dalam perdebatan tersebut karena ini adalah wajar dalam ranah akademis, namun nampaknya masyarakat telah diarahkan pada wacana perdebatan seperti itu.
Paralaks Wacana Ideologi & Kebenaran
            Titik rawan wacana adalah simulasi konflik. Wacana lebih menggema jikalau terdapat konflik konkret yang diolah untuk menciptakan efek psikologis. Pada pilpres kali ini kedua kubu saling serang dalam kedua hal ini. Kita bahas yang pertama terlebih dahulu, Ideologi. Berangkat dari terminologi Lacanian, Zizek membagi ideologi menjadi tiga mode yaitu doktrin (doctrine), keyakinan (belief), ritual (ritual). Dua kejadian yang sebenarnya tidak menggambarkan pertarungan ideologi membuat berita yang dibaca atau ditonton mengarahkan pada kedua hal tersebut. Kita bisa melihat bagaimana pemberitaan parpol agama tertentu dan wacana pemurnian menggiring terhadap fobia pada ideologi tertentu. Kita juga dapat melihat pemberitaan suatu kebijakan tertentu yang diolah sedemikian rupa mengarah terhadap ideologi pasar tertentu. Agama dan pasar menjadi simbol yang laris dalam propaganda sebuah kampanye. Pemberitaan penyerangan jamaah akan menyeret pemikiran publik untuk berpikir bahwa ini adalah perbuatan si X dan gerakan macam si X didukung oleh calon Y. Demikian pula tatkala sebuah berita memberikan gambaran kebijakan si A yang mendorong orang untuk berpikir bahwa kebijakan tersebut adalah ideologi Z yang bertentangan dengan keinginan bangsa.
            Tatkala Karl Marx dan Nietzsche dihujat oleh bangsa ini, namun pada sisi tertentu bangsa ini sepakat terhadap apa yang dikritik oleh keduanya, agama dan kapitalisme. Marx dan Nietzche bukan mengkritik agama dan yang dipraktekkan di Indonesia melainkan kritik terhadap agama dan pemeluknya yang ada di Eropa pada saat itu. Pada fase ini terdapat perbedaan kosmologi yang tak dapat digeneralisasi begitu saja. Masih banyak hal-hal baik di Indonesia yang tidak terdapat dalam sistem yang berkembang pada kehidupan kedua orang tersebut.
            Kebenaran dalam benak media massa dan juga status sosmed orang yang saya lihat adalah kebenaran subjektif dimana sudah ada penghilangan fakta tanpa melihat secara komprehensif. Tak ayal berbagai respon bertentangan muncul. Suatu kebenaran (yang telah diolah) menggelinding seperti bola salju yang kian membesar dan siap menghantam siapa saja. Media massa maupun media sosial bagi Zizek merupakan ruang penalaran publik yang di dalamnya perlu suatu kritik ideologi, sedangkan Chomsky yang memandang segala sesuatu sudah jelas hanya memerlukan pengungkapan kebenaran. Nah, perdebatan permasalahan ini menyisakan sebuah lubang yakni sejauh mana kemampuan pembaca atau orang dalam mengolah informasi yang ia tangkap.
Cooling Down
            Pada kekacauan informasi karena terdapat kabut yang menyamarkan kebenaran dan informasi timbul keegoisan masing-masing. Rasionalitas tentunya tidak dapat diandalkan pada posisi seperti ini. Ada trauma, dendam, kegelisahan, ketakpercayaan, kekhawatiran yang menyelimuti rasionalitasnya. Hati? Manusia sebagai makhluk yang berlumur dosa tidak tahu apakah hati dan pikirannya benar-benar bersih. Tidak ada yang berani menjaminnya.
            Kejadian-kejadian beberapa minggu terakhir justru menjadi kesempatan bagi pihak ketiga untuk memperkeruh suasana. Kita musti berkaca pada tragedi di luar negeri pada beberapa negara yang kian memanas. Pada konteks yang lebih luas kita juga perlu memerhatikan agenda zionis terhadap negeri ini (lihat artikel agenda zionis). Maka daripada itu kita menenangkan pikiran dan hati sejenak.
            Fase genting seperti saat ini kita juga sering lupa untuk memohon petunjuk pada Yang Maha Kuasa. Inilah yang saya sebut kita terlalu egois dan sombong hanya mengandalkan pikiran dan hati kita dengan melupakan sang pencipta. Setidaknya bagi yang Islam dapat melaksanakan sholat Istikharah sedangkan yang lain dapat melakukan sesuai dengan agamanya. 

No comments:

Post a Comment