Kejadian tahun
2009 seperti dipersiapkan untuk menghadapi masa-masa seperti ini. Menghabiskan hari
dalam sebuah ruang gelap ketika jutaan manusia menyambut kemenangan. Boleh
dikatakan tahun 2009 merupakan masa kelam. Dan apesnya, giliranku untuk
menyambutnya. Merayakan hari raya di Telang yang mayoritas penghuninya mudik. Akan
engkau temukan satu-satunya rumah yang terang benderang di Telang dan itulah
kontrakanku. Kampus yang masih dikepung sawah bukan rumah sehingga kau dapat
menemukan kunang-kunang maupun makhluk-makhluk berseliweran di rumah hantu. Motor
tak ada. Warung dan Bank tutup. ATM terblokir. Kawan-kawan semua mudik dan
televisi sibuk memberitakan info mudik tiap jamnya seperti tiada berita lain
yang layak dijadikan berita. Sempurna. Benar-benar Bad The Bah.
Lebaran
tahun ini hampir mirip dengan tahun 2009 hanya saja berbeda rasa. Semangat mudik
pun tidak. Si Mbak heboh karena mimpi bertemu Ayah. Saya hanya menanggapi
sekenanya. Ia tak tahu jika tiap hari saya kerap bertemu dalam mimpi. Orang lain
barangkali akan mengatakan bahwa karena saya memakai selimut yang dipakai
almarhum saat meninggal dan bukannya dipendam. Tentu saja saya tolak pemikiran
tersebut karena pertama saya butuh selimut yang hangat dan kedua kalau dipendam
menjadi tidak bermanfaat.
Pada malam
takbir rumah di Rembang gelap gulita. Bukan karena saya malas menghidupkannya,
melainkan memang lampunya mati dan saya malas menggantinya. Saya biarkan
demikian agar lebih hemat listrik dan saya memang sudah terbiasa dengan
kegelapan. Suara takbir terdengar sayup-sayup dan lebih didominasi suara binatang
malam yang berada di hutan depan rumah. Betul, di rumah tiada siapapun kecuali
saya, satu-satunya manusia di tempat itu. Kodok yang dapat menempel tembok dan
melompat tinggi serta makhluk-makhluk lain tak perlu dihitung. Ayah yang
tinggal disana sebelumnya memang sudah tiada. Bahkan saat beliau meninggal pun
tak ada air mata yang menetes. Seolah air mata ini sudah menangis
bertahun-tahun silam sehingga tak perlu menangis lagi. Seakan saya sudah tahu
bahwa hari itu akan tiba waktunya dan mental pun sudah siap. Alam tak
memberikan tanda apapun. Pagi itu telampau biasa dan terasa tak istemewa untuk menghentakkan
kesadaranku bahwa Ayahku tiada.
Akhir-akhir
ini, sebagai bujang, saya seperti melihat kilasan-kilasan masa lalu yang tak
pernah kualami namun ada kehadiranku di sana. Saya sering sulit tidur. Bangun pagi
sudah berada di depan laptop dan tertidur di bawah ranjang dengan buku-buku
berserak di sebelahku. Terkadang kutemukan kamar kos sangat bersih dan rapi,
ada kalanya berantakan seketika. Ah, jangan salahkan saya.
Saya kerap
mendapati mahasiswa menatapku dengan mata takut dan menghindar, meskipun saya
selalu tersenyum. Seperti saya pernah melukai mereka. Atau tatapan benci atau mengejek dan berusaha
menjauh pun ada. Saya tak mempermasalahkannya karena pada dasarnya lebih suka
menyepi. Kau akan seperti melihat tulisan “stay
out of my territory” melayang di udara. Saya sedikit terhibur tatkala
melihat mahasiswa berbohong dimana mereka tak sadar kebohongannya sudah
kuketahui. Saya hanya dapat mengumpat dalam hati, “Don’t bullshit a bullshitter”.
Saya tak takut
dibohongi, saya hanya benci dibohongi. Saya perlu mencari udara segar yang
bebas polusi kebohongan. Dengan menyendiri atau menjadi diri sendiri.