Satu tulisan yang dimuat oleh Cinemags Bulan Juli 2015.
Sorot mata Caesar pada adegan pembuka dan penutup
film Dawn of The Planet of The Apes mengingatkan saya pada sorot mata yang sama
di pedalaman hutan Kalimantan. Kemudian saya berpikir bahwa seharusnya
Indonesia bisa membuat film yang lebih dari ini. Lantas saya membuka kembali
ingatan tentang Apocalypto karya Mel Gibson yang berkisah tentang suku Maya.
Dari kedua film tersebut ada sebuah permasalahan laten, yakni eksplorasi
budaya.
Eksplorasi
kebudayaan kita untuk dijadikan sebuah tontonan yang menarik masih minim.
Film-film kita masih didominasi oleh drama yang minim budget. Pada mulanya Pendekar
Tongkat Emas memberikan ekspektasi mengenai film yang mengangkat budaya
lokal, namun kok jatuhnya seperti
film-film silat Tiongkok. Baik dari segi pakaian maupun gaya bertarung. Mungkin
The Raid yang mengangkat seni pencak
silat di pentas dunia dan melakukan ekspansi budaya ke beberapa negara.
Einsten
pernah menekankan pentingnya imajinasi. Dan imajinasi saya sampai pada ekspansi
budaya melalui film sehingga tiada klaim budaya lagi dari negara lain. Jepang, Korea,Tiongkok pun coba
memperkenalkan budaya mereka melalui film. Tidak sedikit dari kita yang lebih
mengetahui budaya negara lain dibandingkan budaya sendiri melalui film-film
mereka. Anda bisa mengecek koleksi film teman-temanmu dan mungkin anda
akan menemukan koleksi film Barat, Jepang, Korea, Pinoy, Thailand, India,
Tiongkok, atau bahkan Malaysia. Pertanyaannya, adakah manusia dari negara lain
yang mengoleksi film-film Indonesia?
Imajinasi
juga yang membawa saya berandai bila kita memiliki pusat industri perfilman
semacam Hollywood ataupun Bollywood. Keduanya memiliki karakter khasnya
masing-masing. Terutama Bollywood yang tak lepas dengan nyanyian dan tarian
yang menambah durasi film menjadi dua jam lebih. “Kita kan sudah punya
Dollywood mas bro,” kelakar seorang kawan menimpali imajinasiku. Ia menunjuk
sebuah tempat lokalisasi besar di Surabaya yang membawa kenangan pada sejarah
bila industri film kita pernah mengakomodir otak mesum masyarakatnya. Saya
sangat berterima kasih pada film Petualangan
Sherina yang telah membuat jatuh cinta pada industri film nasional.
Walaupun ada fase dimana film kita mengakomodir kembali otak mesum
masyarakatnya dengan balutan genre horor dan komedi.
Sinema
bukan sekedar hiburan semata. Ada pengenalan identitas sebuah bangsa sekaligus
ekspansi budaya pada negara lain. Lalu tinggal melihat respon dari negara
tersebut, apakah menelan mentah-mentah ataukah melakukan mekanisme pertahanan
diri dan kemudian berekspansi balik? Jepang menyadari situasi ini. Mereka
membendung pengaruh Walt Disney dengan menggenjot industri manga dan anime yang
dilanjutkan pada ranah game. Seperti ucapan budayawan Yamada Shoji yang mengatakan bahwa ada dua hal yang bertentangan
dalam budaya yakni perilaku ”memiliki” sekaligus ”menyebarkan”.
Tatkala
saya bermain perang-perangan memerankan tokoh jagoan dengan keponakan yang
telah berubah logat seperti Upin & Ipin. Saya menjadi Gatotkacha dan dia
menjadi Naruto. Ia bertanya tentang siapa Gatotkacha, kekuatan apa yang dia
miliki kemudian membandingkan Gatotkacha dengan Naruto. Lantas kami sedikit
berdebat dan akhirnya kalah oleh ucapannya, “Jagoan kok bisa mati Om. Naruto kan tidak mati saat bertarung. Jadi, nanti
Om harus kalah dan mati.” Saya hanya diam karena dalam perang Mahabarata
dikisahkan bahwa Gatotkacha memang mati. Apa yang mesti saya jelaskan tentang
kematian seorang pahlawan pada anak kecil? Akankah Arjuna juga akan kalah
pesona dengan Casanova dalam merebut hati wanita?
Pasti
akan seru menyaksikan tari-tarian tradisional kita mampu melebihi Step Up. Atau mungkin juga menampilkan kejayaan
maritim kita dengan kapal-kapalnya sekaligus perang armada lautnya yang lebih
seru dibandingkan Pirates of The
Caribbean series. Adaptasi I La
Galigo menjadi film pun patut dipertimbangkan karena kaya akan filosofi
kehidupan. Apabila kita menggali dan mengeksplorasi apa yang kita miliki
mungkin tak akan ada habisnya. Tetapi, itu kembali pada sineas kita dan
terutama penyandang dana yang tentunya melihat dari sisi profit. Terkadang
langkah pertama membutuhkan keberanian dan (juga) kegilaan yang menyertainya.
Cinemags 192 Juli 2015, Hlm 86.