Papan Peringatan Bahwa Anda Memasuki Wilayah Pemberontak EZLN |
Kudeta
posmo terhadap modernisme sudah berdengung sebelum saya lahir. Namun, posmo juga
belum mampu memperbaiki kondisi. Sebagian dari kita sadar bahwa kita lahir pada
zaman yang genting. Dimana manusia mencari kebahagiaan tetapi terjebak dalam
kekejaman dan kekerasan yang lembut. Soft
wars yang tidak disadari beberapa dari kita.
Posmodernisme
secara jujur menguraikan kebusukan modernisme sekaligus memberikan kesempatan untuk
menggali nilai-nilai dalam masyarakat yang berbeda. Kondisi ini membuat
masyarakat menemukan arti hidup bagi mereka masing-masing. Keraguan terhadap
metanarasi menyebabkan nilai-nilai universal ditentang oleh kaum posmo.
Sepintas posmo memang mendukung etnosentrisme.
Kejujuran
posmo tidak diimbangi oleh proyek selanjutnya. Kudeta yang dilaksanakan seolah
tanpa perencanaan sehingga banyak kebanyakan dari mereka dan tentu saja kita
kebingungan. Dan kita bertanya pada diri kita, “Lantas apa yang dilakukan
setelah ini?” Saya dan mereka bingung. Tidak mengherankan apabila kebanyakan
dari kita menjadi pesimis: duduk, menonton sembari berharap.
Politik &
Kegilaan
Setiap
zaman memiliki definisi kegilaan yang berbeda, setidaknya itu pendapat
Foucault. Perubahan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setidaknya
menyumbangkan perubahan definisi tersebut. Setiap manusia berhak untuk optimis,
tetapi tidak sedikit terjebak dalam optimisme yang berlebihan hingga melupakan
tujuan optimisme. Optimisme itu bertransformasi menjadi sebuah ambisi. Sejarah
terlalu banyak untuk mengungkapkan ambisi seorang pemimpin atau kegagalan
sebuah ambisi.
Ambisi
menyeret banyak dari kita terjerembab pada sesuatu yang kita sebut kegilaan.
Bulan ini kita akan menyaksikannya. Ada sedikit kesombongan bahwa kita mampu
melakukan perubahan. Lihat! Kesombongan itu menjadi virus yang merusak sistem
kesadaran kita. Mereka berani malu untuk mempertontonkan wajah mereka di depan
publik dengan resiko mendapat caci maki atau malah coretan di wajah pada
balihonya. Sedangkan kita? Kita hanya duduk dan menonton mereka memasang baliho
karena kita apatis. Pesimisme ini membawa kita takluk pada ambisi mereka.
Tahun
politik bagi kita yang tidak menggairahkan tetap memaksakan diri untuk
melaksanakan kewajiban politik. Hobbes membawa perdebatan kontemporer perihal
kewajiban politik melalui kontrak sosial. Ketakutan yang dalam status alamiah
digambarkan Hobbes sebagai ketundukan pada kondisi pemberian kekuasaan terhadap
seseorang. Tindakan yang mengamini apa yang tidak kita inginkan.
Salah
satu nilai dari demokrasi menurut Henry B. Mayo adalah menyelenggarakan
perubahan pemimpin secara berkala atau kita lebih mengenalnya dengan pemilu.
Namun kita sendiri tidak terlalu percaya pada demokrasi yang dituhankan begitu
banyak akademisi. Sejujurnya saya lebih percaya jika demokrasi adalah alat
untuk mempertahankan status quo,
tidak lebih.
Richard
Rorty melakukan keisengan dengan sebuha ide ketika terjadi kebuntuan politik,
yaitu mengandalkan para cendikiawan. Tugas
kaum intelek ini menurutnya bukan untuk menyempurnakan teori-teori sosial, tapi
membuat kita ikut merasakan penderitaan orang lain, sekaligus menajamkan,
memperdalam, dan memperluas kemampuan kita mengidentifikas diiri dengan orang
lain, berbela rasa dengan orang lain sesuai moralitas. Tetapi, kaum intelek ini
lebih suka bermain dengan imaji mereka dan beradu argumen. Kebenaran yang
mereka dapatkan berbuah pesimisme. Mampukah mereka diandalkan?
Ketidakpastian dan kemungkinan dalam
fisika menggambarkan universalitas yang memungkinkan adanya kekacauan.
Kekacauan yang semestinya memang harus terjadi dan menyebabkan entropi. Pertumbuhan
alamiah yang menjadi dasar entropi membawa kekacauan pada kestabilan karena
kekacauan memiliki nilai kecil. Karena mayoritas kita melihat kekacauan sebagai
objek manusia. Alam semesta tidak pernah kita perhitungkan sebelumnya karena
kita memikirkan mereka sebagai sesuatu yang terpisah. Padahal aslinya tidak
karena kita bekerja pada sistem yang sama, yaitu sistem Tuhan.
Saya percaya bahwa Tuhan itu Esa
yang memiliki hukum universal yang nilainya sama. Makna atau hakikat yang
ditemukan tiap manusia memiliki kemungkinan berbeda sehingga dalam
pendefinisiannya dibutuhkan generalisasi. Letak generalisasinya adalah sebuah
fenomena, bukan dengan tafsirnya.
Itulah
mengapa posmo tersesat pada hakikat karena mereka mengabaikan generalisasi.
Rata-rata mereka tidak mampu menjawab pertanyaan, selanjutnya apa?
Lalu, apa yang harus dilakukan?
Apakah kita menunggu Tuhan turun ke bumi? Hei, omong kosong apalagi itu!
Tidakkah kita ingat kisah Musa yang ingin melihat Tuhan, tetapi Ia pingsan dan
gunung meledak di depannya? Bukankah Tuhan sudah menunjuk manusia sebagai
pemimpin di bumi? Tuhan terlalu suci untuk turun ke bumi yang diselimuti
kebusukan. Cukuplah wakil-Nya yang seorang manusia yang memperbaikinya agar
kita tidak terlalu sering diprotes oleh alam karena kepemimpinan kita.
Kompleksitas negara ini sudah dalam
taraf akut. Dan sekali lagi kita hanya duduk, menonton serta berharap. Dominan
itu yang kita lakukan dan masih mengharapkan perubahan. Pesimisme membuat kita
tertunduk dan diam. Perubahan tidak diawali dengan berdiam diri. Itulah hukum
universal Tuhan.
Semarang, 9 Mei 2014